banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Rabu, 22 Juni 2016

Menjadikan Bisnis Bernilai Pahala

Menjadikan bisnis bernilai pahala.

Dengan niat yang benar perbuatan mubah semisal jual beli bisa berubah menjadi bernilai pahala. Sehingga seluruh sisi kehidupan seorang muslim bernilai ibadah dan ketaatan. An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”[5]

Niat yang benar dalam hal ini adalah menginginkan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Niat baik untuk diri sendiri berupa menjaga diri dari kengkomsumsi harta yang haram, menjaga kehormatan sehingga tidak meminta-minta, menguatkan diri sehingga bisa melakukan ketaatan kepada Allah, menjaga jalinan silaturahmi, berbuat baik dengan kerabat dan niat-niat baik yang lain.

Niat baik untuk orang lain berupa ikut berperan serta memenuhi hajat hidup orang banyak yang merupakan suatu hal yang bernilai fardhu kifayah, membuka lapangan kerja untuk orang lain, berperan serta untuk membebaskan umat dari sikap bergantung kepada orang lain dan lain-lain.

Niat adalah perdagangan orang-orang yang berilmu. Artinya nilai sebuah amal bisa berlipat ganda disebabkan pelakunya menyatukan beberapa niat baik dalam waktu yang bersamaan. Sungguh itu adalah suatu yang mudah bagi orang yang Allah mudahkan. ------------------------------------
Ayo tebar Kebaikan dengan Like & Share
JOIN US
BBM : 542B0443
Instagram : MUSTANIR.INFO
Page: Mustanir Media Muslim Cerdas
atau kunjungi www.mustanir.com

#motivasi #inspirasi #ramadhan #puasa #sukses #suksesmulia #bahagia #suksesmuda #suksesbisnis

Istighfar dan Taubat sebab datangnya Rezeki

Al-Qurthubi mengatakan, “Di dalam ayat ini, dan juga dalam surat Hud (ayat 52) terdapat petunjuk bahwa istighfar merupakan penyebab turunnya rizki dan hujan.”

Ada seseorang yang mengadukan kekeringan kepada al-Hasan al-Bashri, maka beliau berkata, “Beristighfarlah kepada Allah”, lalu ada orang lain yang mengadukan kefakirannya, dan beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Ada lagi yang mengatakan, “Mohonlah kepada Allah agar memberikan kepadaku anak!” Maka beliau menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah”. Kemudian ada yang mengeluhkan kebunnya yang kering kerontang, beliau pun juga menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah.”

Maka orang-orang pun bertanya, “Banyak orang berdatangan mengadukan berbagai persoalan, namun anda memerintahkan mereka semua agar beristighfar.” Beliau lalu menjawab, “Aku mengatakan itu bukan dari diriku, sesungguhnya Allah swt telah berfirman di dalam surat Nuh,(seperti tersebut diatas)

Istighfar yang dimaksudkan adalah istighfar dengan hati dan lisan lalu berhenti dari segala dosa, karena orang yang beristighfar dengan lisannnya saja sementara dosa-dosa masih terus dia kerjakan dan hati masih senantiasa menyukainya maka ini merupakan istighfar yang dusta. Istighfar yang demikian tidak memberikan faidah dan manfaat sebagaimana yang diharapkan.
#motivasi #inspirasi #sukses #suksesmulia #suksesbisnis #sukseshidup #suksesduniaakhirat #katahikmah

Selasa, 07 Juni 2016

Takwa Salah Satu Sebab Datangnya Rezeki

Setiap orang yang bertakwa, menetapi segala yang diridhai Allah dalam segala kondisi maka Allah akan memberikan keteguhan di dunia dan di akhirat. Dan salah satu dari sekian banyak pahala yang dia peroleh adalah Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dalam setiap permasalahan dan problematika hidup, dan Allah akan memberikan kepadanya rizki secara tidak terduga.

Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah di atas, “Yaitu barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam segala yang diperintahkan dan menjauhi apa saja yang Dia larang maka Allah akan memberikan jalan keluar dalam setiap urusannya, dan Dia akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari jalan yang tidak pernah terlintas sama sekali sebelumnya.” 

CIRI ORANG BERTAKWA

Al-Hasan berkata, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara; senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji; rendah hati dan tidak sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu yang luas; senantiasa bertaqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32)

Terkait takwa pula, Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Alquran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).

Minggu, 05 Juni 2016

SALAHKAH MENCINTAI DUNIA

SALAHKAH MENCINTAI DUNIA?
Seorang tabi’in, Salamah bin Dinar (Abu Hazim) pernah ditanya oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, semoga Allah merahmati keduanya: “Sungguh kudapati pada diriku ini sesuatu yang membuatku bersedih”, kata Abdurrahman. “Apa itu wahai putra saudaraku?” tanya Salamah bin Dinar. “Cinta dunia,” jawab Abdurrahman.

Salamah bin Dinar berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya aku tidak menyalahkan diriku karena sesuatu yang Allah beri padaku. Karena Allah telah membuat kita cinta akan dunia ini. Tapi janganlah kecintaan kita pada dunia membuat kita mengambil sesuatu yang Allah benci. Dan menghalangi kita dari sesuatu yang Allah cintai. Jika demikian yang kita lakukan, maka kecintaan pada dunia tidak membahayakan kita. Selain (dua) hal ini, barulah kita cela diri kita (karena mencintai dunia).” --
Cinta dunia akan tercela ketika “kita mengambil sesuatu yang Allah benci”. Mengambil dalam bentuk materi. Atau melakukan sesuatu yang haram. Demi memiliki bagian dari dunia itu. Atau cinta dunia itu “menghalangi kita dari sesuatu yang Allah cintai”. Contohnya: Allah mencintai manusia mengerjakan shalat. Tapi gara-gara perkejaannya (untuk mendapatkan bagian dari dunia), manusia menunda shalat atau bahkan meninggalkan shalat. 
Contoh lain: Allah mencintai manusia jauh dari riba, tapi manusia bertransaksi riba bahkan bekerja di tempat ribawi. Sehingga kecintaannya akan dunia berupa gaji dan sumber penghidupan menghalanginya dari apa yang Allah cintai.

Yang juga kerap terjadi : Berakad bisnis tidak sesuai syariat, rukun dan syarat tidak terpenuhi. Melakukan praktik Riswah (suap/orang dalam,dsb). Design promosi tidak sesuai batasan syariat. Dan lain sebagainya yg tak dapat diketahui kecuali dengan ILMU.