banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Senin, 28 Agustus 2017

Nyonya Meneer dan Fenomena Zombie Company

Rhenald Kasali (Jawa Pos Photo)


MERINDING kita mendengar kabar bahwa perusahaan legendaris Nyonya Meneer dipailitkan kreditornya minggu lalu. Dengan begitu, pengelolaan pabriknya kini berada di tangan kurator untuk membayar hutang terhadap 35 orang kreditornya.

Kita merinding karena perusahaan ini banyak jasanya bagi anak-anak kita yang masa kecilnya telah dihangatkan  Minyak Telon produksi Nyonya Meneer. Belum lagi jamu Habis Melahirkan yang banyak digemari kaum ibu dan lain-lainnya.

Dengan menarik nafas panjang, saya sebenarnya tak enak hati menjelaskan fenomena yang sedang menjadi gejala global ini.  Namun karena banyak yang menanyakannya, baiklah saya jelaskan. Semoga keluarga alm. Nyonya Meneer tak keberatan dan diberi ketabahan dalam melewati masa-masa sulit mempertahankan legacy bisnis ini. Dan kita doakan semoga  bisa kembali melanjutkan usahanya kembali cemerlang.

 

Baiklah, kalau benar bahwa perusahaan sudah lama tak mampu memenuhi kewajibannya membayar hutang, maka bisa jadi ini sebenarnya fenomena Zombie Company.  Sekali lagi kalau berita-berita yang kita baca itu benar adanya. Saya sendiri berharap tidak demikian tentunya.

Namun ini perlu diwaspadai negara, sebab setelah pertumbuhan ekonomi dunia melambat, dunia sedang dikuasai perusahaan Zombie dan dibanjiri zombie product, termasuk di sini.  Kalau ini dibiarkan maka ia bisa menghantui banyak kehidupan usaha seperti "rasa takut" yang sedang beredar yang seakan-akan daya beli benar-benar hancur.

Untuk jelasnya saya ajak anda mengingat-ingat kembali  zombie  dalam film-film science fiction yang kadang horor kadang jenaka. 

Karena film yang mengulas tentang zombie cukup banyak (antara lain Lincoln vs Zombie), maka ia menjadi begitu populer. Singkat cerita zombie adalah mayat  berjalan. Ia sebenarnya sudah mati, tak ada lagi sumber darahnya, tetapi karena satu dan lain hal tidak  dikubur.  Anda mungkin masih ingat Merpati Airlines? Layanan pesawatnya  sudah tak anda lihat lagi bukan? Tapi dia masih ada, belum dikubur. 

Hidup dari Utang

Zombie  tak ada lagi sumber darahnya lagi, juga tak berjiwa. Ruh itu dalam bisnis adalah sumber inovasi. Dulu sewaktu alm Nyonya Meneer masih hidup perusahaan ini aktif mengeluarkan produk baru. Ini sama persis dengan perusahaan-perusahaan lain yang mengandalkan keahlian foundernya. 

Biasanya, begitu founder wafat kalau tak ada penerus yang punya passion dalam industri, inovasi ikut pudar.

Syukur kalau saat founder masih ada, kendati sudah tak aktif lagi, inovasi masih bisa dikembangkan. Mustika Ratu kendati bu Moeryati sudah tak aktif masih mengeluarkan minuman kolangkaling, Kalbe masih mengeluarkan Hydrococo, dan seterusnya. Itu yang bagus. Inovatif dan berhasil.

            Setelah Nyonya Meneer wafat (1978) kita tahu terjadi keributan diantara kelima ahli warisnya dan cucu almarhumah. Keributan itu baru berakhir setelah dua pemegang saham memutuskan keluar dan mendirikan Jamu Dua Putri Dewi di Surabaya. Saya sempat menemui keduanya di Surabaya pada tahun 1986. Mereka mengklaim sebagai pewaris keahlian meramu jamu yang dilatih langsung oleh ibunda.

Bila itu benar maka  sejak saat itu "ruh" mencipta yang amat dibutuhkan perusahaan pun bisa pudar. Tapi ternyata Jamu Dua Putri Dewi tak mampu berkembang menjadi besar. Bahkan tahun lalu ia diakuisisi oleh Kino dengan nilai yg tak besar, hanya Rp 29 miliar. Tapi ia mempunyai 30 resep jamu yang masih bisa dikembangkan. Artinya masih mencipta, walau kita tak tahu benar apakah itu inovatif atau tidak.

Nah kalau berhasil maka inovasi itu bisa menghasilkan  "darah" (cashflow) yang menggerakkan seluruh organ perusahaan. 

Nah perusahaan yang bergerak tanpa “ruh” menjadi tidak inovatif, menjadi rutinitas. Tak ada ada hal-hal baru lagi yang menggairahkan semua pegawai. 

Perusahaan tanpa ruh adalah ibarat Perguruan Tinggi Negeri yang dipimpin oleh Rektor yang maaf, numpang duduk di jabatan tertingginya. Ia hanya asyik memimpin seremonial, tak ada sesuatu yang baru dari kepemimpinannya. Ia hanya menjalankan SOP kementrian, tak membesarkan "kue" yang dipercayakan kepadanya.

Selain ada di satu-dua PTN, fenomena ini juga ada di perusahaan pelat merah, anak-anak perusahaan pelat merah atau perusda yang gagal meraih pemimpin transformasi. Tetapi kini juga banyak ditemui di sektor swasta. 

Lama-lama bangunannya menjadi kusam, pegawainya semakin tua dan kurang sentuhan, orang muda tak lagi ditemui, sistem keuangan masih  jadul, IT sulit diimplementasikan, pabrik kurang diperbaharui, jaringan distribusi ya begitu-begitu saja, lalu sales makin susah dinaikkan.

Jadi tak ada lagi perjuangan membangun hal-hal baru. Semuanya hanya meneruskan yang sudah ada saja. Bahkan yang sudah kusam, tak laku, tak relevan lagi terus dipelihara, masih itu-itu saja yang diperdagangkan.

Zombie company akhirnya hidup dari hutang atau menjual aset-aset yang ada secara bertahap (tidak revolusioner). Hanya supaya bisa bergerak. Bahkan dibiayai dengan bad debt atau cek kosong.

 

Siapa Mereka?

Adakah diantara zombie itu yang baik?

Tidak ada! Zombie yang baik itu harusnya sudah dikubur. Jangan dibiarkan bergentayangan. Karena mereka akan menyebarkan rasa takut dan kesulitan bagi yang hidup dan masih punya masa depan.

Yang saya khawatirkan, di Indonesia ini fenomena zombie semakin banyak. Sebab bagi sebagian orang menutup perusahaan itu sungguh memalukan. Apalagi dinyatakan pailit. Direktur-direktur dan pemegang sahamnya bisa masuk dalam daftar hitam perbankan. 

Ia eksis karena dipelihara orang-orang tertentu yang bisa menikmati aset-asetnya yang tak terpakai. Ruang kerja, kartu nama, fasilitas gudang, tanah, kendaraan, dan bisnis-bisnis turunannya. Masih ada yang bisa dipakai untuk kegiatan perorangan.

Di Jepang, menurut  Bloomberg fenomena perusahaan zombie  mulai menyeruak pada 1990-an saat industri Jepang mulai dikalahkan Korea dan Tiongkok. Mereka bertahan hidup—meski tak mampu membayar kreditnya—berkat sikap lunak pemerintah dan kreditor yang khawatir kalau  dipailitkan  akan berdampak buruk terhadap laporan keuangan kreditor. 

Alhasil, sampai Maret 2017 lalu, memang tak satu pun dari sekitar 4.000 perusahaan publik di Jepang yang dipailitkan. Padahal, banyak di antara mereka yang bisnisnya sudah terdisrupsi.

Contohnya Toshiba, Sharp, atau Sanyo. Sharp selama bertahun-tahun nyaris bangkrut sampai  diambil alih oleh Foxconn dari Taiwan. Bisnis Sanyo pada 2009 diambil alih Panasonic. Sedangkan Toshiba tak lagi terdengar geliat inovasinya setelah kejayaannya dalam produksi laptop. 

Kita jangan silau dengan perekonomian Korea Selatan dan Tiongkok. Industri perkapalan Korea kini terpukul akibat menurunnya perdagangan global. Maret silam bank-bank pemerintah di sana  memberikan pinjaman USD 2,6 miliar ke Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co. dan mengkonversi utangnya dengan saham. Padahal, dua tahun kemudian Daewoo Shipbuilding, mesti melunasi utang jangka pendeknya yang mencapai USD 4 miliar!

Mengutip data dari Bank of Korea dan Financial Supervisory Service, Financial Times 25 Mei 2017   menulis, ada lebih dari 3.278 perusahaan zombie di Korea Selatan. Sebanyak 232 di antaranya adalah perusahaan publik. Angka ini naik 17% ketimbang tahun 2012. 

Padahal, perusahaan-perusahaan zombie itu diperkirakan mempekerjakan sekitar 100.000 karyawan,  setara dengan 4,5 persen PDB negara itu.

Saya masih bisa memperluas kolom ini dengan mengingatkan para regulator bahwa dewasa ini dunia tengah dikepung produk-produk zombie yang dihasilkan perusahaan yang nyaris mati. Itu amat mengganggu beberapa sektor usaha kita yang bisa menjadi lesu. Tapi lain kali saja.

Kita kembali saja ke Nyonya Meneer dan nasib kita dalam memimpin perusahaan. Begini, sebelum berubah menjadi zombie company, biasanya perusahaan larut dulu menjadi lazy company. Ya malas.

Saat uangnya banyak, mereka berfoya-foya, uangnya cuma ditabung, inovasi tidak ada yang baru, riset juga tidak ada. Pokoknya tak ada tabungan untuk bertahan di hari esok. Yang ada hanya warisan masa lalu. Padahal gaya hidup dan masalah yang dihadapi konsumen berubah terus. 

Seperti yang saya gambarkan dalam buku saya yang terbit tahun ini, Disruption, melanda semua perusahaan kita apapun sektor usahanya. Kalau anda berada di perusahaan besar mudah membaca dashboardnya: EBITDA margin anda masih besar, tapi DERnya kecil sekali. Begitulah salah satu cara membaca gejala lazy company.

Tapi sekarang itu meramalkan kematian perusahaan jauh lebih mudah dari melamalkan keherhasilannya. Maka itu hindarilah perangkap lazy company sekarang juga dengan menabung masa depan melalui inovasi dan orang-orang muda yang dinamis dan mau bergerak. Semoga saja Nyonya Meneer bukan fenomena yang saya sebutkan di atas. Saya mendoakan ia bisa selamat dan panjang umur meski capek juga ya berdiri sejak 1919? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar