banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Minggu, 30 April 2023

Pribadi Sukses Dunia Akhirat

Pribadi Sukses Dunia Akhirat.


Untuk gapai sukses hidup dunia-akhirat harus jalankan sunatullah sebagai bagian dari ikhtiar.

Diawali dengan pola pikir yang benar, menghasilkan pola sikap yang juga benar.


Menariknya dari hasil survei terhadap ratusan orang yang sukses (kehidupan dunia) di Inggris ternyata memiliki karakter yang sama :


Hasilnya adalah,

Pertama, orang sukses selalu mempunyai dedikasi yang tinggi terhadap apa yang ia jalankan. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan, atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik.


Kedua, determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.


Ketiga adalah berbeda dengan orang lain. Karakteristik ketiga ini sangat menarik. Ternyata orang-orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.


Gunakan karakter sukses tersebut dalam bekerja, berbisnis, berdakwah, dan amalan-amalan yang membawa kepada keridhoan Allah SWT.


Tetap niiat lurus hanya untuk mengharap ridho-Nya semata.


Salam Sukses Berkah Berlimpah!

Selasa, 25 April 2023

Diundang walimah padahal sedang berpuasa

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Ustadz, bagaimana kalau kita sedang puasa, lalu kita diundang ke acara walimah dan ditawari makan oleh pihak pengundang. Apakah puasanya kita batalkan atau bagaimana? (Hamba Allah, Makassar).

Jawab :
Terdapat rincian (tafshiil) hukum syara’ untuk menjawab pertanyaan di atas sbb :

Pertama, jika puasanya adalah puasa yang hukumnya wajib, misalnya puasa untuk meng-qadha` utang puasa Ramadhan, puasa nadzar, atau puasa kaffarah, maka tidak boleh orang yang diundang walimah itu membatalkan puasanya kemudian makan hidangan di walimah tersebut.

Hal itu karena meski memenuhi undangan walimah itu sendiri hukumnya wajib, selama tidak ada kemungkaran dalam walimah, seperti ikhtilath (campur baur undangan laki-laki dan perempuan), tetapi memakan hidangan walimah hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka jika yang diundang itu sedang berpuasa wajib, dia tidak boleh membatalkan puasa wajibnya itu.

Dalilnya adalah hadits yang menunjukkan sunnahnya memakan hidangan walimah. Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ، فَلْيُجِبْ، فَإنْ كَانَ صَائِمًا، فَلْيُصَلِّ، وَإنْ كَانَ مُفْطِرًا، فَلْيَطْعَمْ

”Jika diundang salah satu dari kamu [untuk suatu jamuan makan] maka hendaklah dia memenuhi undangan itu. Jika dia berpuasa, hendaklah dia mendoakan [keberkahan], dan jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan.” (idzâ du’iya ahadukum falyujib, fa in kâna shâ`iman fal-yad’u, wa in kâna mufthiran fal-yath’am). (HR Muslim, no. 1431, dari Abu Hurairah RA).

Dalam hadits ini terdapat perintah (amar) untuk memakan hidangan walimah, yaitu sabda Rasululullah SAW,”Dan jika dia tidak berpuasa, hendaklah dia makan” (wa in kâna mufthiran fal-yath’am).

Tetapi perintah (amar) ini tidaklah bersifat jazim (tegas), yaitu wajib, karena terdapat petunjuk (qarinah) dalam hadits lain, bahwa orang yang diundang boleh memilih antara makan atau tidak makan. Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلىَ طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ

”Jika diundang salah satu dari kamu untuk suatu jamuan makan, maka hendaklah dia memenuhi undangan itu. Jika dia berkehendak, dia makan, dan jika dia berkehendak dia tidak makan.” (idzâ du’iya ahadukum ilâ tha’âmin falyujib, in syâ’a tha’ima wa in syâ’a taraka). (HR Muslim, no. 1430, dari Jabir bin Abdillah RA).

Jelaslah bahwa memakan hidangan walimah itu sunnah. Inilah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. (Hâsyiyah Ibnu ‘Âbidin, 6/347; Hâsyiyah Ad Dasûqi ‘Ala Al Syarah Al Kabîr, 2/338; Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtâj, 7/434; Al Buhûti, Syarah Muntahâ Al Irâdât, 3/33).

Maka ketika yang diundang walimah sedang menjalankan puasa wajib, dia wajib meneruskan puasanya dan tidak boleh memakan hidangan. Karena ketika yang wajib bertemu dengan yang sunnah, maka yang didahulukan adalah yang wajib, sesuai kaidah fiqih : al wâjib yuqaddamu ’alâ al mandûb (yang wajib haruslah didahulukan daripada yang mandub / sunnah). (Syihâbuddin Al Qarâfi, Anwâr Al Burûq fi Anwâ’ Al Furûq, Juz I, hlm. 573).

Kedua, jika puasanya adalah puasa yang hukumnya sunnah, seperti puasa enam hari di bulan Syawal, atau puasa Senin dan Kamis, atau puasa Daud, dan sebagainya, maka orang yang diundang itu boleh memilih antara terus berpuasa atau memakan hidangan. Sabda Rasulullah SAW :

اَلصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيْرُ نَفْسِهِ ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

”Orang yang berpuasa sunnah adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, jika dia berkehendak dia terus berpuasa, jika dia berkehendak, dia boleh berbuka [membatalkan puasa].” (HR Tirmidzi, no. 728, dan Ahmad, no. 25658, dari Ummu Hani` RA).

Manakah yang lebih afdhol? Bagi pihak yang diundang, jika tidak menyinggung perasaan pihak pengundang, yang afdhol adalah meneruskan puasa. Namun jika menyinggung perasaan pengundang, yang afdhol adalah makan hidangan. Karena bisa jadi pihak pengundang bertanya-tanya dalam hati jika ada tamu yang tidak makan hidangan,”Apakah harta saya haram?” Sementara bagi pengundang, sebaiknya tidak mendesak tamu untuk memakan hidangan. (Ibnu Taimiyah, Al Ikhtiyârât, hlm. 241). Wallahu a’lam.


Rabu, 19 April 2023

Dalam Islam Apakah Hukumnya Bercanda ?

Dalam Islam apa hukumnya bercanda ?adakah kaidahnya dalam fiqh Islam?

Canda (gurauan) dalam bahasa Arab disebut mumaazahah. 

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Candaan yang bersih dari segala yang dilarang dalam agama hukumnya mubah. Apabila bertepatan dengan suatu kemaslahatan seperti bisa menghibur lawan bicara atau mencairkan suasana, maka hukumnya mustahab (sunnah).” 

Dalil bolehnya bercanda, antara lain hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa para shahabat bertanya,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.” Rasulullah SAW menjawab “Sesungguhnya tidaklah aku berbicara, kecuali yang benar.” (HR Tirmidzi).

Tetapi meski boleh secara syar’i, wajib diperhatikan beberapa rambu syariahnya. Yotu :

  1. Tidak mengolok-ngolok/mempermainkan ajaran Islam. 
  2. Tidak mengejek atau menyakiti perasaan orang lain. 
  3. Tidak mengandung kebohongan. 
  4. Tidak mengandung ghibah.
  5. Tidak mengandung kecabulan (porno)
  6. Tidak membuat melalaikan kewajiban dan tidak menjerumuskan pada yang haram


Hukumnya menurut Imam An-Nawawi adalah mubah (diperbolehkan syariah). Bahkan di dalam kitab itu Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bercanda yang hukum asalnya mubah, dapat naik derajatnya menjadi sunnah juka bertujuan merealisasikan kebaikan, atau untuk menghibur lawan atau untuk mencairkan suasana.

Sejalan dengan pendapat Imam Nawawi tersebut,


Dalil lainnya, Rasulullah SAW pernah bercanda dengan seorang nenek tua bahwa nenek tua tidak akan masuk surga, karena yang masuk surga akan menjadi muda lagi.

Dari Al Hasan, bahwa pernah seorang nenek tua mendatangi Nabi SAW. Nenek itu pun berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah pada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga.” Nabi SAW menjawab, “Wahai Ummu Fulan, Surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua.” Nenek tua itu pun pergi sambil menanngis. Nabi SAW pun bersabda kepada para shahabat, “Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasuki dia sedangkan ia dalam keadaan tua. Karena Allah Ta’ala berfirman (artinya),“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (QS. Al Waqi’ah: 35-37). (HR. Tirmidzi).

Artinya, orang yang masuk surga memang tidak ada yang tua, karena mereka ketika itu akan kembali muda lagi.

Dalil lainnya, Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan dengan nada canda. Dari Anas bin Malik RA, bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang menghadap Rasulullah SAW kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, tolong bawa aku (naik).” Rasulullah SAW pun menjawab dengan nada canda, “Kami akan menaikkanmu di atas anak unta.” Lelaki itu bertanya, “ Apa yang bisa aku perbuat dengan seekor anak unta?” Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah unta hanya melahirkan anak unta (maksudnya unta dewasa sebenarnya juga anak unta)?” (HR. Abu Dawud).

Jadi, bercanda itu hukumnya mubah berdasarkan dalil-dalil di atas.


beberapa rambu syariahnya. Antara lain sebagai berikut :

  1. Tidak mengolok-ngolok/mempermainkan ajaran Islam. (Lihat QS At Taubah : 65-66)
  2. Tidak mengejek atau menyakiti perasaan orang lain. (Lihat QS Al Hujurat : 11).
  3. Tidak mengandung kebohongan. (QS Al Ahzab : 70-71).
  4. Tidak mengandung ghibah (menggunjing) orang lain. (QS Al Hujurat : 12).
  5. Tidak mengandung kecabulan (rafats) (kisah porno). (QS Al Baqarah : 197).
  6. Tidak melampaui batas, yakni tidak membuat melalaikan kewajiban dan tidak menjerumuskan pada yang haram.

(Lihat : ‘Aadil bin Muhammad Al-‘Abdul ‘Aali, Pemuda dan Canda, hlm. 38-44). Wallahu a’lam.[]


(Diambil Dari Materi Kajian Guru kami KH.Shiddiq Al Jawi)

Wajibkah Menzakati Uang Yang Kita Miliki ?

Wajibkah menzakati uang yang kita miliki? 


Wajib hukumnya menzakati uang yang ada sekarang, dengan dalil wajibnya berzakat untuk emas dan perak. 

Syekh Abdul Qadim Zallum berkata “siapa saja yang mempunyai uang fiat yang berlaku sekarang, yang nilainya mencapai nishab emas yaitu 20 dinar atau setara 85 gram emas atau mencapai nishab perak yaitu 200 dirham atau setara 595 gram perak), dan uang itu telah berlalu dalam satu tahun hijriyah (haul), maka dia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5%.” 

Jadi bagi anda yang sudah menabung uang selama satu tahun hijriah sebesar nishab emas atau perak maka wajib untuk berzakat. 

seberapa besar sih nishab tersebut kalau dirupiahkan ?


Dalilnya hadis dari Ali bin Abi Thalib RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : 

“Maka jika kamu mempunyai 200 dirham, dan telah berlaku haul padanya, maka zakatnya 5 dirham (2,5%). Dan tidak ada kewajiban apa-apa atasmu (yakni pada emas) hingga kamu mempunyai 20 dinar. Jika kamu mempunyai 20 dinar, dan telah berlaku haul padanya, maka zakatnya setengah dinar (2,5%). Yang lebih dari itu mengikuti hitungan tersebut.” (HR Abu Dawud, no. 1575). 


Ada 3 (tiga) pendapat tentang menentukan besar nishab : 

Pertama, mengikuti nishab emas. 

Kedua, mengikuti nishab perak. 

Ketiga, mengikuti nishab yang paling rendah dari dua nishab tersebut. 

Menurut Syekh Abdullah Manshur Al-Ghufaili, yang paling kuat (rajih) adalah pendapat ketiga, yaitu mengikuti nishab lebih yg rendah dari kedua nishab yang ada,


-Nishab emas (per 14 April 2023 ) = 

20 dinar x Rp 4.300.000 = Rp 86.000.000 

-Nishab perak (per 14 April 2023) = 

200 dirham  Rp 73.500 =  Rp 14.700.000 


Maka, nishab zakat uang yang dipakai adalah nishab perak, yaitu Rp 14.700.000 . 

(Asumsi : kurs dinar dan dirham mengikuti Zaim Saidi, di mana 1 dinar = Rp 4.300.000, dan 1 dirham = Rp 73.500 ) 


Jadi bagi anda yang sudah menabung uang selama satu tahun hijriah sebesar minimal 14,7 juta rupiah maka wajib untuk berzakat 2,5%.


(Diambil dari kajian guru kami KH. Shiddiq Al Jawi)

Batalkah Puasa Orang Yang Melakukan Transaksi Riba ?

BATALKAH PUASA ORANG YANG MELAKUKAN TRANSAKSI RIBA?

Para ulama berbeda pendapat mengenai batal tidaknya puasa orang yang melakukan dosa-dosa besar, seperti berghibah), kesaksian palsu, suap menyuap (risywah), termasuk yg melakukan transaksi ribawi.

Sebagian ulama seperti Imam Al Auza’i dan Imam Ibnu Hazm berpendapat bahwa puasanya orang yang melakukan dosa besar adalah batal dan wajib diqadha

Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang berpendapat bahwa dosa-dosa besar (al kabaair) tidak termasuk hal-hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha, tetapi termasuk hal-hal yang menghapuskan pahala puasa.


Dalil batalnya puasa pelaku dosa besar menurut sebagian ulama tersebut antara lain hadits Nabi SAW, ”Barangsiapa siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (qaul az zuur), tidak meninggalkan beramal dengan kesaksian palsu, dan yang tidak meninggalkan perbuatan bodoh (al jahl) (berbuat zhalim dsb), maka Allah tidak membutuhkan orang yang meninggalkan makanan dan minumannya itu.” (HR Bukhari, no 6057). Imam Ibnu Hazm berhujjah dengan hadits tersebut dengan mengatakan, “…Allah tidak meridhai puasanya orang yang demikian itu, dan tidak menerima puasanya. Dan jika Allah tidak meridhai puasanya dan tidak menerima puasanya, berarti puasanya batal dan gugur.” (laa yardha shaumahu dzalika wa laa yataqabbaluhu, wa idza lam yardhahu walaa qabilahu fahuwa baathilun saaqithun). (Ibnu Hazm, Al Muhalla, IV/306).


puasa pelaku dosa besar tetap sah, hanya saja tidak mendapat pahala apa-apa di sisi Allah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi bagiannya hanyalah lapar dan haus saja, dan betapa banyak orang yang melakukan shalat malam (qiyam al lail) tapi bagiannya hanyalah begadang (al sahr) saja,” (HR Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzamah, no 1997). Hadits ini bermakna bahwa betapa banyak orang yang tidak mendapat pahala puasa (tsawab al shiyam) dan pahala shalat malam (tsawab qiyam al lail), dikarenakan pahalanya telah dihapuskan oleh dosa-dosa besar yang dilakukannya. (Muhammad Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al Tsalatsuuna Hadiitsan Al Ramadhaaniyyah, hlm. 44).


(Diambil Dari Materi Guru Kami KH.Shiddiq Al Jawi)

Bolehkah menerima hadiah dari pelaku riba ?

Bolehkah menerima hadiah / sajian makanan dari pelaku riba ?


harta yang berasal dari muamalah yang haram. Misal harta suap, gratifikasi, harta riba, atau gaji dari pekerjaan ribawi (misal pegawai bank). Hukumnya boleh bermuamalah dengan pemilik harta ini, seperti menerima pemberian hartanya, atau memakan makanan yang diberikan. Tetapi, sebaiknya kita tidak bermuamalah dengan pemilik harta ini.

Dalil as sunnah yaitu Nabi SAW menerima pembayaran jizyah dari orang Yahudi, padahal sudah diketahui harta orang Yahudi adalah harta riba;


Dalil Al Quran firman Allah subhanahu wa ta'ala (artinya): “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS Al An’aam [6] : 164).

Dalil As Sunnah, di antaranya :

(1) Nabi  menerima pembayaran jizyah dari orang Yahudi, padahal sudah diketahui harta orang Yahudi adalah harta riba;

(2) Nabi  menerima pemberian daging beracun dari seorang perempuan Yahudi di Khaibar, padahal perempuan itu juga berasal dari kalangan Yahudi yang bermuamalah riba;

(3) Nabi  pernah membeli bahan makanan dari orang Yahudi dengan agunan baju besinya, padahal penjualnya adalah orang Yahudi yang bermuamalah riba;

(4) Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah ditanya mengenai orang yang bertetangga dengan pemakan riba, dan pemakan riba itu mengundang orang tersebut untuk makan-makan, apakah itu boleh? Maka Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu menjawab,“Penuhi saja undangan itu, karena makanan itu adalah bagimu sedang dosanya adalah tanggungan dia.” (Arab : ajiibuuhu fa-innamal mahnau lakum wal wizru ‘alaihi). (Ibnu Rajab Al Hanbali, Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam, hlm. 71).


Berdasarkan ini, boleh hukumnya kita memakan sajian saudara yang bekerja di bank.

Namun sebaiknya kita tidak memakannya, karena Islam itu mengajarkan ihtiyath (berhati-hati) dan bersikap wara, yaitu menjauhkan dari hal-hal yang syubhat atau yang dikhawatirkan ada unsur keharaman, sebagaimana sabda Nabi  “Seorang hamba Allah tidak akan mencapai derajat orang yang bertaqwa hingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak ada dosanya lantaran khawatir di situ ada dosanya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim).


(Diambil dari materi guru kami KH.Shiddiq Al Jawi)

Sabtu, 15 April 2023

KPR Menurut Islam

KPR bolehkah menurut Islam?

KPR atau Kredit Pemilikan Rumah adalah suatu fasilitas kredit yang diberikan oleh perbankan kepada nasabah yang akan membeli rumah.

KPR tidak boleh menurut syariah Islam karena 3 (tiga) alasan :

Pertama, karena dalam KPR terjadi riba dalam muamalah antara nasabah dengan bank. Riba tersebut berupa bunga atas pokok utang yang dipungut oleh bank dari nasabah.

Kedua, karena dalam KPR nasabah menjadikan barang yang dibeli (yaitu rumah) sebagai jaminan (rahn).

Ketiga, karena dalam KPR biasanya ada denda dari bank bila nasabah menunggak pembayaran angsuran per bulan. Atau denda kepada nasabah yang melunasi sisa angsurannya lebih awal dari waktu yang seharusnya. Kedua macam denda tersebut hakikatnya adalah riba yang diharamkan Islam, karena ia merupakan tambahan yang disyaratkan atas pokok utang. 


Para ulama telah sepakat, bahwa setiap tambahan yang disyaratkan dalam akad utang (dain) adalah riba yang hukumnya haram. Imam Ibnul Mundzir berkata :


Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa pemberi pinjaman jika mensyaratkan [kepada penerima pinjaman] sepersepuluh dari nilai pinjaman sebagai hadiah atau tambahan, lalu dia memberi pinjaman dengan ketentuan tersebut, maka pengambilan tambahan atas pinjaman itu adalah riba.” (wa ajma’uu ‘alaa anna al–muslifa idzaa syaratha ‘usyra as–salafi hadiyyatan aw ziyaadatan fa-aslafahu ‘alaa dzaalika anna akhdzahu az–ziyaadata riba). (Ibnul Mundzir, Al–Ijma’, hlm. 109).


Menjaminkan barang objek jual beli (rahn al–mabii’) secara syariah tidak dibolehkan. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i seperti dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :

“Jika dua orang berjual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, maka jual belinya tidak sah. Ini dikatakan oleh Ibnu Hamid dan juga pendapat Syafi’i. Sebab barang yang dibeli ketika disyaratkan menjadi jaminan (rahn), berarti barang itu belum menjadi milik pembeli. (Ibnu Qudamah, Al–Mughni, Juz 4, hlm. 285, Kitab Ar Rahn).


Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :

”Tidak sah jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al–Fatawa al–Fiqhiyah al–Kubra, Juz 2, hlm. 279).

Imam Ibnu Hazm berkata :

”Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan (di-fasakh).” (Ibnu Hazm, Al–Muhalla, Juz 3, hlm. 417, masalah 1228).


Kesimpulannya, KPR hukumnya haram dalam Syariah Islam. Pihak yang melakukan keharaman ini adalah nasabah dan bank yang secara langsung terlibat dalam riba. Pihak developer, walau tak terlibat langsung, namun turut berdosa karena menjadi perantara bagi terjadinya riba. Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :

“Al wasiilah ilal haraam haram. “Setiap wasilah (perantaraan) kepada yang haram, hukumnya haram juga.”


Solusi syariah untuk KPR adalah akad jual beli secara angsuran (bai’ bi at–taqsiith) antara developer dengan pembeli untuk rumah siap huni. Akad ini haruslah tanpa melibatkan pihak ketiga (bank atau lembaga pembiayaan), dan boleh ada jaminan asalkan bukan rumah yang menjadi objek jual beli.


Jumat, 14 April 2023

Alasan Pinjol Dilarang Islam

Mengapa pinjol dilarang dalam Islam?


Pinjol (pinjaman online) adalah pinjaman berupa mata uang rupiah yang diberikan oleh pihak pemberi pinjaman (lender) kepada pihak peminjam (borrower) secara online.


Banyak masyarakat tertarik dengan pinjol, karena pinjol ini tanpa agunan. Dan, prosesnya cepat karena syarat-syaratnya ringan.


pinjol haram hukumnya menurut syariah Islam, baik pinjol legal maupun ilegal, berdasarkan 2 (dua) alasan:Pertama, terdapat riba, yaitu tambahan yang dipersyaratkan dalam akad pinjaman (qardh) dalam 3 (tiga) bentuknya, yaitu bunga, denda, dan biaya administrasi dari prosentase pinjaman. 

Kedua, terdapat bahaya (dharar) yang dialami oleh peminjam, yaitu setidaknya ada tiga macam bahaya; (1) penagihan pinjaman yang disertai intimidasi dan terror; (2) penyalahgunaan data-data pribadi pihak peminjam untuk menagih utang, dan (3) bunga yang tinggi (khususnya pinjol illegal).


Imam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Para ulama telah sepakat bahwa jika pemberi pinjaman (al–muqtaridh) mensyaratkan adanya tambahan pada pinjamannya, maka tambahan tersebut hukumnya haram.”(Ibnu Taimiyah, Majmû’ Al–Fatâwâ, Juz XXIX, hlm. 334).


Imam Ibnu Qudamah mengatakan hal serupa,”Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan, maka tambahan itu hukumnya haram, tanpa ada khilâf (perbedaan pendapat di kalangan ulama).” (Ibnu Qudamah, Al–Mughnî, Juz IV, hlm. 360).


Syariah Islam telah mengharamkan terjadinya bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, sesuai sabda Rasulullah SAW, ”Tidak boleh menimpakan bahaya bagi diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirâr).” (lâ dharara wa lâ dhirâra). (HR Ahmad).


Kesimpulannya, meminjam uang melalui pinjol hukumnya haram, baik pinjol yang legal maupun yang ilegal, baik yang bunganya sedikit maupun yang besar. Semuanya haram dan semuanya dosa besar (kabâ`ir).


(Diambil dari Kajian guru kami KH.M Shiddiq Al jawi)

Kamis, 13 April 2023

Keutamaan lailatul qadar dan amar maruf

Meraih Dua Keutamaan: Lailatul Qadar dan Amar Makrūf Nahi Mungkar 


Setiap muslim pasti tahu keutamaan Lailatul Qadar, sebagaimana dipahami dari firman Allāh subḥānahu wa taʿālā (yang artinya): “Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan.” (TQS al-Qadar [97]: 3)


Berkaitan dengan ayat tersebut, Mujahid menyatakan, “Upaya menghidupkan malam tersebut dan beramal di dalamnya adalah lebih baik daripada menghidupkan seribu bulan.”

Artinya, pahala menghidupkan Lailatul Qadar adalah lebih baik dari pahala ibadah selama kira-kira 83 tahun 3 bulan (Ibnu al-Jauzī, at-Tadzkirah fi al-Wa’zh, 1/218).


Keutamaan Lailatul Qadar juga dinyatakan oleh Rasūlullāh , “Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Karena begitu besarnya keutamaan lailatul qadar, Rasūlullāh  mendorong setiap muslim untuk sungguh-sungguh meraih keutamaan malam tersebut. Beliau bersabda, “Carilah oleh kalian keutamaan Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Begitu besar keutamaan Lailatul Qadar juga ditunjukkan oleh fakta bahwa Allāh subḥānahu wa taʿālā merahasiakan keberadaannya.

Mengapa?

Tidak lain, sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nasafi, agar kaum muslim bersungguh-sungguh mencari keutamaan malam tersebut di seluruh malam-malam Ramadhan (Abdurrahman ash-Shafudi, Najhah al-Majâlis wa Muntakhab an-Nafâ’is, 1/162).

Namun demikian, sebetulnya ada keutamaan amal yang setara bahkan melebihi keutamaan Lailatul Qadar. Ini pun sudah selayaknya bisa diraih oleh setiap muslim.

Apa itu?

Jawabannya ada dalam sabda Rasūlullāh , “Berjaga-jaga satu jam di medan perang fī sabīlillāh adalah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di samping Hajar Aswad.” (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)

Bayangkan. Menghidupkan Lailatul Qadar adalah keutamaan. Apalagi dilakukan di tempat yang utama. Di tanah suci. Tentu jauh lebih utama. Namun ternyata, berdasarkan hadis di atas, keutamaan tersebut bisa dikalahkan oleh jihād (perang) fī sabīlillāh meski sekadar berjaga-jaga satu jam saja.

Hadis di atas dikuatkan oleh sabda Rasūlullāh , “Maukah kalian, aku beritahu tentang suatu malam yang lebih utama dari Lailatul Qadar? Yaitu (malamnya) seorang penjaga yang berjaga-jaga di suatu wilayah yang menakutkan (di medang perang fī sabīlillāh) dan dia amat berharap tidak kembali kepada keluarganya (berharap mati syahid, pen.).” (HR al-Hakim)

Masalahnya, bagaimana kita dapat meraih keutamaan jihād/mati syahid, sementara kita saat ini ada dalam wilayah damai; tidak sedang berada di medan perang jihād fī sabīlillāh atau berada di wilayah perang? Masih bisakah kita meraih keutamaan jihād dan mati syahid? Tentu saja bisa.

Bagaimana caranya?

Tidak lain dengan melibatkan diri di medan dakwah dan amar makrūf nahi mungkar. Terutama yang ditujukan kepada para penguasa zalim. Sebabnya, Rasūlullāh  pernah bersabda, “Jihād yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Alhasil, sebagaimana kita sangat berharap meraih keutamaan Lailatul Qadar—yang lebih baik dari seribu bulan—sudah selayaknya kita pun berupaya meraih amal yang jauh lebih utama dari itu. Tidak lain adalah dakwah dan amar makrūf nahi mungkar. Karena kemungkaran terbesar saat ini dilakukan oleh penguasa—sebab tidak menerapkan syariah Islam—maka ke sanalah amar makrūf nahi mungkar lebih layak ditujukan.

Semoga kita bisa meraih dua keutamaan tersebut. Amin.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh! []

Sumber: Arief B Iskandar


mustanir.net/meraih-dua-keutamaan 

Menggunakan wifi tetangga tanpa Izin

Bagaimana hukumnya menggunakan WiFi tetangga tanpa izin?


Signal wifi walaupun bentuknya tidak bisa dilihat, diraba, tetapi secara konkrit ada, bisa kita lihat efek-efek yang memenuhi pengertian harta. penggunaan Wifi tetangga tanpa izin termasuk memanfaatkan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. 


Sedangkan memanfaatkan harta orang lain tanpa izin telah diharamkan dalam syariat Islam sebagaimana sejumlah keterangan. 

Diantaranya dalam hadits riwayat Abu Dawud Nabi Muhammad SAW bersabda “tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” 


seseorang bisa menggunakan WiFi tetangganya bila tetangganya itu telah menghalalkan atau meridhokan WiFi nya itu digunakan publik. Allah SWT telah mengingatkan pada hambanya agar jangan sampai memakan harta orang lain dengan jalan batil.


Sebagaimana firman Allah dalam Alquran: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(Alquran surat An Nisa ayat 29).


Kiai Shiddiq menjelaskan bahwa lafadz La takulu amwalakum bukan saja berarti larangan agar jangan memakan, namun juga berarti larangan memanfaatkan, menggunakan barang atau milik orang dengan cara batil. Maka menggunakan WiFi tetangga tanpa izin termasuk perbuatan batil.

(Diambil dari materi guru kami KH Shiddiq Al Jawi)

Rabu, 12 April 2023

Jual Beli COD menurut Islam

Hukum COD Menurut Islam

COD (cash on delivery) adalah suatu metode pembayaran dalam jual beli online dimana konsumen membayar barang pada saat barang yang dipesan tiba di alamat pembeli atau di suatu tempat yang disepakati penjual dan pembeli.

Jika akad jual belinya terjadi saat online, hukumnya haram karena terdapat hadis yang melarang jual beli di mana penjual dan pembeli sama-sama bertransaksi tidak tunai (utang). Dalam HR Al Hakim Dari Ibnu ’Umar RA, dia berkata :

”Rasulullah SAW telah melarang jual beli dimana penjual dan pembeli sama-sama tidak tunai.” (nahâ ‘an bai’ al kâli` bi al kâli`). 

Maka COD dengan akad online, haram hukumnya karena terjadi penundaan penyerahan barang oleh penjual (perlu waktu untuk pengiriman) dan juga terjadi penundaan pembayaran oleh pembeli (pembayaran baru dilakukan saat barang sampai).

Berarti ga boleh ya ?Tenang ada solusinya kok..


SOLUSI PERTAMA, Pembeli mentransfer uang kepada penjual, pada saat terjadi transaksi online.

Jika pembeli mentransfer saat akad online, hukumnya boleh, tidak haram, karena berarti telah terhindar dari larangan bai’ al kâli` bi al kâli` (jual beli utang dengan utang). dalam hadis Ibnu Umar RA di atas.

Selain itu, secara syariah memang sah jual beli dengan pembayaran di muka (saat transaksi), sedang barang dikirim kemudian.

 

       

 SOLUSI KEDUA, pada saat terjadi kesepakatan online, kespekatan ini tidak dianggap akad jual beli, tetapi hanya sekedar janji untuk berjual beli secara tidak mengikat (wa’ad ghairu mulzim), yaitu boleh ada pembatalan (dari pihak pembeli/penjual).

Maka, jual beli COD dengan wa’ad ghairu mulzim ini dibolehkan, dengan dua syarat :

Pertama, perlu diberikan hak khiyâr (opsi) kepada pembeli, agar janji untuk membeli itu tidak bersifat mengikat.

Kedua, pada saat bertemu, baru diadakan akad jual belinya. Wallahu a’lam.


       

Minggu, 09 April 2023

Menarik tunai ATM yang keluar mata uang lain bolehkah menurut Islam?

Menarik tunai ATM yang keluar mata uang lain/bukan rupiah,bolehkah menurut Islam?

misal kita berada di Turki,lalu melakukan penarikan uang di ATM, dan ternyata yang keluar mata uang Lira Turki, bukan mata uang rupiah. Padahal kita menabung di bank dalam mata uang rupiah.

Nah..Hukum penarikan tunai yang seperti itu boleh dengan syarat penarikan uang via ATM terjadi secara yadan biyadin, yaitu penerimaan uang lira itu terjadi di majelis akad, yaitu terjadi di ATM tersebut, tanpa ada penundaan (delay). 

Dalilnya adalah hadits tentang bolehnya ṣaraf (tukar menukar uang) yang berbeda jenis, misal rupiah dengan riyal, rupiah dengan lira (Turki), dsb, asalkan terjadi secara yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima di majelis akad.


Dalilnya hadits dari Ubadah bin Shamit RA sebagai berikut :

Dari ‘Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut (al-sha’īr bi al-sha’īr), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takaran/timbangannya (mithlan bi mithlin sawâ`an bi sawâ`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR. Muslim, no 1587).


Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa untuk penukaran mata uang yang berbeda jenis, misalnya rupiah dan lira hukumnya boleh asalkan memenuhi satu syarat, yaitu terjadi secara kontan atau yadan biyadin, yaitu terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābuḍ fī majelis al-‘aqad). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām Al-Iqtiṣādi fī al-Islām, hlm. 257)

Bolehnya ṣaraf tersebut sama saja, baik secara kontan (yadan biyadin) dengan membawa mata uang secara konkret di majelis akad, seperti yang terjadi di Money Changer, maupun secara kontan dengan menukarkan uang yang statusnya dalam tanggungan (al-ṣaraf mā fī al-ẓimmah), maksudnya uang yang menjadi piutang (al-dayn), di dalam majelis akad, seperti yang terjadi ketika seorang melakukan penarikan tunai di ATM dengan mendapat mata uang lokal yang berbeda dengan mata uang yang tersimpan sebagai saldo dalam rekening bank. Alasannya adalah karena al-dhimmah al-ḥaḍirah ka al-‘ayn al-ḥadirah, artinya piutang yang menjadi tanggungan  di majelis akad, hukumnya sama dengan uang yang hadir di majelis akad. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām Al-Iqtiṣādi fī al-Islām, hlm. 259).

Penarikan Uang Tak Senilai Menurut Islam

PENUKARAN UANG TAK SENILAI bolehkah menurut islam?

Menjelang Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. fakta di atas termasuk riba yang haram hukumnya. yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Apabila ingin penukaran uang sejenis wajib memenuhi dua syarat. Pertama, harus ada kesamaan dalam kuantitas atau kadar.

Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad, yakni harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada salah satu dari apa yang dipertukarkan.


Dua syarat di atas dalilnya antara lain hadis yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri ra. , bahwa Rasulullah saw. bersabda :


“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya) dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).


Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda :


“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR. Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248)


Dari hadis Abu Said al-Khudri (hadis pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya ada dua : Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail). Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “mitslan bi mitslin”, yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi, diharamkan adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).


Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini didasarkan pada bunyi hadis “yadan bi yadin” (dari tangan ke tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah) harus dilakukan secara kontan. Jadi, diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).


Dari hadis Ubadah bin Shamit (hadis kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan oleh lafazh hadis “idza kaana yadan biyadin” (jika hal itu dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 30).


Dalil-dalil di atas berlaku pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan perak seperti terdapat dalam teks hadis. Ini bukan karena Qiyas, melainkan karena sifat yang ada pada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264)


Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp 100.000) dengan uang receh ribuan (Rp 1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat kelebihan Rp 5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.


Demikian pula haram hukumnya menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp 100.000) ditambah selembar uang lima ribuan (Rp 5000) (total nilainya Rp 105.000) dengan uang receh ribuan (Rp 1000) milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp 100.000). Sebab nilainya tidaklah sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp 5000, yang jelas merupakan riba yang haram hukumnya.


Namun yang berdosa bukan hanya penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadis, baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba. Perhatikanlah sabda Nabi saw. :


فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء


“Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama saja (dosanya).” (HR. Muslim, no 1584).


Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu billah mindzalik. Sabda Nabi saw. :


Dari Abdullah bin Hanzhalah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :


درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية


“Satu dirham riba yang dimakan oleh seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata,”Sanad hadis ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan Muslim)”. Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).


Maka dari itu, sudah seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.


Sudah saatnya umat Islam menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa suatu negeri yang bergelimang riba akan mendapat azab Allah. Sabda Rasulullah saw. :


إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا بأنفسهم عذاب الله


“Jika telah merajalela zina dan riba di suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).


Sampai kapankah kita terus menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan, kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab Allah lainnya? Wallahu a’lam.


“Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, niscaya ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)