banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Rabu, 23 Agustus 2023

Perbedaan uang DP dan Tanda Jadi

Menurut islam apa Bedanya UANG TANDA JADI DAN uang DP ?


Persamaan uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) dengan DP (bai al ’urbūn) adalah : “Uang tanda jadi dan DP sama-sama akan mengurangi total harga jika akad jual belinya terjadi atau tidak dibatalkan oleh pembeli.” 


Adapun perbedaan uang tanda jadi dengan DP terdapat dalam 3 (tiga) hal sebagai berikut :

 Pertama, perbedaan dari segi waktunya apakah sebelum atau sesudah akad jual beli. Uang tanda jadi diberikan saat pra akad (sebelum terjadinya akad jual beli) 

 Sedangkan DP (urbūn) diberikan berbarengan atau sesudah terjadinya akad jual beli) 

 

Kedua, perbedaan dari segi terjadi perpindahan hak milik atau tidak. Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) jika diberikan, sifatnya adalah titipan (amanah), yaitu wadī’ah, di tangan pihak penjual. Artinya, uang tersebut belum menjadi hak milik pihak penjual, dan dengan demikian, pihak penjual tidak boleh melakukan tasharruf (pemanfaatan) uang tersebut, misalnya digunakan untuk berjual beli sesuatu, atau untuk menyewa sesuatu,

 Adapun DP (urbūn), jika diberikan, sudah menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian pihak penjual berhak melakukan tasharruf (pemanfaatan) terhadap uang DP tersebut. (

 

Ketiga, Jika akad jual beli cancel, uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) wajib hukumnya dikembalikan oleh penjual kepada pembeli. Hal itu karena, uang tanda jadi itu sebenarnya belum menjadi hak milik penjual, dan dengan demikian, penjual wajib mengembalikannya jika akad jual beli tidak terjadi. 

 

Adapun DP (urbūn), jika akad jual belinya dibatalkan pembeli, DP itu sudah menjadi hak milik pihak kedua (penjual), sehingga oleh karenanya tidak dikembalikan oleh penjual kepada pembeli (yakni, DP hangus). 


Nah sampai sini sudah paham ya bedanya, jangan sampai salah menentukan akad.


Definisi Uang tanda jadi (hāmisy jiddiyyah) hukumnya boleh (jā’iz) dengan memenuhi 4 (empat) syaratnya sebagai berikut :

 Pertama, uang tanda jadi diberikan oleh calon pembei kepada calon penjual, sebelum terjadinya akad jual beli.

 Kedua, uang tanda jadi statusnya adalah titipan (wadī’ah) di tangan calon penjual, jadi uang itu tidak boleh (digunakan) oleh calon penjual,

Ketiga, uang tanda jadi itu mengurangi total harga jika calon pembeli jadi melakukan akad jual beli.

Keempat, uang tanda jadi wajib dikembalikan kepada calon pembeli jika calon pembeli itu tidak jadi membeli. 


(Diambil dari intisari tanya jawab KH Shiddiq Al Jawi)

Cara bertaubat dari harta riba

Bagaimana cara bertaubat dari harta riba ?

Imam Nawawi dalam kitabnya Riyādhush Shālihīn, menjelaskan bahwa syarat taubat nasuha itu ada 3 (tiga), dan ditambah 1 (satu) syarat jika taubatnya itu karena dosa yang terjadi di antara sesama manusia,

(Pertama) Al-Nadam (penyesalan), yaitu ada perasaan menyesal pada diri orang yang berdosa terhadap dosa yang telah dilakukannya pada masa lalu.

(Kedua) Al-Iqlā’ (berhenti dari perbuatan dosa), yaitu orang yang berdosa itu berhenti dari dosanya pada masa sekarang.

(Ketiga) Al-‘Azam (bertekad kuat), yaitu bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosanya di masa yang akan datang.

Selanjutnya, syarat keempat, 


harta haramnya berupa harta yang diperoleh melalui muamalah haram, seperti harta riba, harta hasil suap menyuap, dsb, yang diambil oleh seseorang dengan keridhoan pemiliknya, hanya saja, orang itu sudah tahu keharamannya secara syariah.


 


Cara bertaubatnya, dalam tiga poin sbb :


(1) harrta tersebut tidak wajib dikembalikan kepada pemilik harta asal;


(2) harta tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk keperluan sendiri, melainkan wajib diinfakkan kepada kaum fakir dan miskin. Penginfakan ini tidak boleh dengan niat sedekah, melainkan sekedar melepaskan diri (at-takhallush) dari harta haram.


(3) Jika diperlukan untuk sekedar hidup, seperti untuk makan, minum, pakaian, dsb, ambil secukupnya dari harta itu, sedang selebihnya wajib diinfakkan kepada kaum fakir dan miskin.

Lalu bagaimana bila harta haramnya diambil karena ketidaktahuan/karena mengikuti fatwa yg salah?


 jika dosa yang terjadi itu berkaitan dengan harta haram yang terjadi di antara sesama manusia, cara bertaubatnya ada perincian yang lebih detail lagi dari para ulama.

Yaitu Bila harta haramnya berupa harta yang diperoleh melalui muamalah haram, seperti harta riba, harta hasil suap menyuap, yang diambil oleh seseorang dengan keridhoan pemiliknya,hanya saja, karena ketidaktahuan atau karena mengikuti fatwa yang salah

Maka cara bertaubatnya

1) Dia wajib menghentikan muamalahnya yang haram sejak dia mengetahui keharamannya.


“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dulu, dan urusannya (terserah) kepada Allah.” (QS Al Baqarah : 275).


(2) Namun dia tidak diwajibkan apa-apa atas harta yang diperoleh di masa lalu. Jadi tidak diwajibkan dia mengembalikan kepada pemilik asalnya, tidak diwajibkan pula untuk menjualnya, dsb.

Lalu bagaimana cara bertaubat kalau sudah tahu keharaman tentang riba tapi tetap mengambilnya, penjelasan baca caption

 

(Diambil dari intisari tanya jawab bersama KH Shiddiq Al Jawi)

Minggu, 13 Agustus 2023

Hukum Jalan Santai Berhadiah

Hukum jalan santai berhadiah

Sedang banyak perlombaan diantaranya jalan santai berhadiah. Dimana Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi.


definisi judi/ al maisir dari kitab kamus Al-Mu’jam Al-Wasith sebagai berikut: Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan adanya taruhan [harta dari para pesertanya].


Jadi Jalan santai berhadiah tersebut hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimar).


Dimana pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai taruhan dari masing-masing peserta.

Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian.

Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah.


Solusi syariah agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb).


Tambahan penjelasan :

judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah. (kullu la’ibin yusytarathu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).

Definis tersebut, disempurnakan dengan definisi judi dari kitab kamus Al-Mu’jam Al-Wasith sebagai berikut: Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan adanya taruhan [harta dari para pesertanya]. (kullu la’ibin fiihi muraahanatun).” (Prof. Ibrahim Anies dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 150).

Dari dua definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi;

Pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) yang umum di kasino, atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret.

Kedua, ada permainan (la’ibun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb, yang mengandung unsur taruhan (muraahanah) .

Ketiga, adanya pihak yang menang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syariah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).


(Diambil dari tanya jawab KH Shiddiq Al Jawi)

Kamis, 10 Agustus 2023

Pakaian Laundry Tidak Diambil Pelanggan

Pakaian laundry tidak diambil2 pelanggan bolehkah dimiliki?


Dalam kajian Fiqih muamalah bersama KH Shidiq Al jawi pakaian yang tidak diambil oleh pelanggan laundry bisa masuk kedalam barang temuan atau Luqathah .


Untuk barang  seperti ini pertama dicoba dihubungi kepada pemiliknya sebanyak 3x, lalu kemudian diumumkan kepada publik selama satu tahun (dalam kalender hijriyah). 


Jika pemiliknya tidak datang, setelah diumumkan selama satu tahun menurut kalender hijriyah, maka barang temuan yang seperti ini boleh dimiliki. 


sabda Rasulullah SAW :

مَا كَانَ مِنْهَا فِي طَرِيقِ الْمِيتَاءِ أَوْ الْقَرْيَةِ الْجَامِعَةِ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ طَالِبُهَا فَادْفَعْهَا إِلَيْهِ وَإِنْلَمْ يَأْتِ فَهِيَ لَكَ، وَمَا كَانَ فِي الْخَرَابِ يَعْنِي فَفِيهَا وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ

“Apa yang ditemukan di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang ditinggali penduduk, maka umumkanlah selama setahun. Jika datang orang yang mencarinya maka serahkan barang itu kepada dia. Jika tidak ada yang datang, maka itu untukmu. Dan apa yang ditemukan di reruntuhan (bukan jalan yang dilalui umum), maka padanya, dan pada rikāz (harta yang terpendam di dalam tanah), ada khumus(kewajiban mengeluarkan seperlima dari harganya).”  (HR Abu Dawud, no. 1710).

Hukum Bekerja di perkebunan anggur untuk wine

Hukum bekerja di perkebunan anggur yg mengolah jadi wine


bekerja di sektor perkebunan hukum asalnya adalah boleh (mubah), Namun hukum asal bekerja di perkebunan anggur tersebut, dapat berubah menjadi haram, jika ada dugaan kuat (ghalabat azh-zhann) bahwa anggur dari kebun itu ternyata diolah menjadi wine (khamr/minuman keras), baik yang mengolah adalah pihak perkebunan anggur itu sendiri, maupun pihak lain, yaitu produsen wine yang membeli anggur dari pihak perkebunan tersebut.


Rasulullah SAW bersabda dalam HR Al Thabarani; Barangsiapa menahan anggurnya pada musim-musim panen hingga dia menjualnya kepada orang yang akan mengolah anggur itu menjadi khamr (minuman keras), maka sesungguhnya dia telah menjerumuskan dirinya ke neraka dengan sengaja (sadar).



Keharaman pekerjaan di perkebunan anggur tersebut didasarkan pada beberapa alasan sbb :

Pertama, adanya dalil-dalil syar’i yang telah mengharamkan tolong-menolong dalam dosa secara umum, termasuk di dalamnya dosa memproduksi wine (khamr) dari bahan anggur, seperti firman Allah SWT ‌ 

“Dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS Al-Ma’idah : 2).


Kedua, ada dalil syar’i yang secara khusus telah menjelaskan haramnya menjual anggur kepada pihak yang akan mengolahnya menjadi khamr, seperti hadits Nabi SAW :

Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya RA, dia berkata,”Telah bersabda Rasulullah SAW,’Barangsiapa menahan anggurnya pada musim-musim panen hingga dia menjualnya kepada orang yang akan mengolah anggur itu menjadi khamr (minuman keras), maka sesungguhnya dia telah menjerumuskan dirinya ke neraka dengan sengaja (sadar).” (HR Al-Thabrani. Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadits ini terdapat dalam kitab Al-Mu’jam al-Ausath karya Imam Al-Thabrani dengan sanad hasan. Lihat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, hadits no 838, Kitab Al-Buyu’; Imam Syaukani, Nailul Authar, 5/252).


Ketiga, ada qaidah fiqih umum yang mengharamkan sesuatu yang asalnya mubah (dibolehkan), seperti penanaman tanaman anggur, atau jual beli anggur, tetapi diharamkan jika sesuatu itu dengan dugaan kuat (ghalabat azh-zhann) akan mengantarkan terjadinya keharaman, misalnya produksi khamr :

“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizhamul Islam, hlm. 127).


Keempat, ada qaidah fiqih yang khusus terkait akad jual beli, yang mengharamkan jual beli yang hukum asalnya mubah (dibolehkan), jika jual beli itu mengantarkan terjadinya kemaksiatan :

“Setiap-tiap jual beli yang membantu terjadinya suatu kemaksiatan, maka jual beli itu hukumnya haram.” (Kullu bai’in a’aana ‘alaa ma’shiyatin haraamun).(Imam Syaukani, Nailul Authar, 5/252).


Berdasarkan penjelasan dalil-dalil syar’i di atas, jelaslah bahwa bekerja di sebuah perkebunan anggur, yang ternyata anggur dari kebun itu akan diolah menjadi wine (khamr/minuman keras), hukumnya adalah haram.


Rabu, 02 Agustus 2023

Menemukan Uang Receh Menurut Islam Bolehkah Dimiliki?

Menemukan uang receh menurut Islam bolehkah dimiliki ?

Barang temuan masuk dalam Luqathah yaitu harta yang ditemukan tergeletak di jalan / di tempat sejenisnya, dan tidak diketahui pemiliknya.


Dalam HR Abu Dawud ”Rasulullah SAW memberikan keringanan kepada kami untuk barang temuan berupa tongkat, pecut, tali dan yang semisalnya yang ditemukan dan dimanfaatkan oleh seseorang (penemunya).” 


Berdasarkan penjelasan ini, barang yang sepele atau murah harganya, boleh hukumnya langsung dimiliki atau dimanfaatkan oleh penemunya.


Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, menjelaskan :

 

“Adapun jika barang temuan itu termasuk barang-barang yang sepele (murah harganya), seperti satu butir kurma, atau satu suap [makanan], atau yang semisalnya, maka tidak wajib diumumkan, melainkan boleh dimiliki (oleh penemunya) saat itu juga.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 124).

 

Hukum ini berlaku untuk barang-barang temuan lainnya yang semisalnya, yang sepele atau murah harganya, yang menurut kebiasaan masyarakat, tidak akan dicari oleh pemiliknya jika barang itu hilang. Misalnya satu potong pisang goreng, satu botol minuman mineral, uang Rp 5.000, satu kotak korek api, satu buah kue bakpia, satu butir kurma, dan sebagainya. Barang-barang seperti ini boleh hukumnya langsung dimiliki atau dimanfaatkan oleh penemunya.


(Diambil dari tanya jawab KH.Shiddiq Al Jawi / HUKUM SYARA’ SEPUTAR BARANG TEMUAN (LUQATHAH)

Bolehkah makelar dapat komisi dari penjual dan pembeli?


Dalam kitab An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, Imam Taqiyuddin An Nabhani mengatakan,”Simsar (makelar) adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah (komisi) baik untuk menjual maupun untuk membeli.” 

Maka dari itu, boleh bagi makelar mengambil upah dari kedua belah pihak, yaitu pembeli dan penjual, jika calo tersebut memang bekerja untuk pembeli dan penjual. 


Jika calo hanya bekerja untuk penjual, dan tidak bekerja untuk pihak pembeli, maka dia tidak boleh minta upah dari pembeli, melainkan hanya boleh minta upah dari penjual. Demikian pula sebaliknya, jika calo hanya bekerja untuk penjual, tidak boleh dia minta upah dari pembeli. Calo hanya boleh meminta upah dari penjual.


Dalam masalah tersebut, Syeikh Abdurrahman bin Shalih Al Athram mengatakan,


“Jika tidak terdapat syarat atau kebiasaan tertentu, maka upah bagi calo dibebankan kepada pihak yang memperoleh jasa perantaraan dari kedua belah pihak (penjual dan/atau pembeli). Jika calo memberi jasa perantaraan bagi penjual, maka upah calo menjadi kewajiban penjual. Jika calo memberi jasa perantaraan bagi pembeli, maka pembelilah yang wajib memberi upah.

Jika calo memberi jasa perantaraan bagi penjual dan pembeli sekaligus, maka upah calo itu menjadi kewajiban penjual dan pembeli.” (Abdurrahman bin Shalih Al Athram, Al Wasathah At Tijariyyah fi Al Mu’amalat Al Maliyah, hlm. 382).   


Sumber : Tanya Jawab Guru Kami KH.Shiddiq Al Jawi