banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Rabu, 21 Juni 2023

Mau Qurban Bolehkah Potong KuKU dan Rambut ?

Mau BerQurban? Haramkah memotong kuku & rambut ?


Memang ada larangan bagi yang akan berkurban, untuk memotong kuku dan rambutnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Dalilnya dalam HR Muslim

 “Jika telah masuk 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sedangkan salah satu di antara kalian ingin berkurban maka janganlah dia memotong sedikit pun bagian dari rambut dan kulitnya hingga dia menyembelih.” 

Hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah larangan itu bermakna pengharaman atau sekedar larangan makruh. 

Menurut guru kami, pendapat yang memakruhkan lebih kuat


Menurut guru kami KH Shiddiq Al Jawi, pendapat yang memakruhkan adalah lebih kuat (rajih), karena terdapat hadits lain yang menjadi qarinah (indikasi) bahwa larangan pada hadits Ummu Salamah di atas adalah larangan makruh, bukan larangan haram.

 

Hadits lain yang menjadi qarinah itu adalah hadits ‘Aisyah RA, bahwa Ziyad bin Abu Sufyan pernah menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata,’Barangsiapa membawa hadyu, maka haram atasnya apa-apa yang haram atas orang yang sedang haji, hingga dia menyembelih hadyu-nya.” Maka ‘Aisyah berkata,’Bukan seperti yang diucapkan Ibnu Abbas. Aku pernah menuntun tali-tali hadyu milik Rasulullah SAW dengan tanganku lalu Rasulullah SAW mengalungkan tali-tali itu dengan tangan beliau, kemudian beliau mengirimkan hadyunya bersama ayahku [Abu Bakar], maka Rasulullah tidak mengharamkan atas sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi beliau hingga beliau mengembelih hadyu-nya.” (HR Bukhari dan Muslim; Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Anna Man Ba’atsa bi-Hadyin Lam Yahrum ‘Alaihi Syaiun Bi-Dzalika, hal. 1004-1005; Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)

 

Imam Syafi’i berkata,”Dalam hadits ini terdapat dalalah [petunjuk, dalil] bahwa tidak haram atas seseorang sesuatu pun karena tindakannya mengirimkan hadyu-nya. Padahal mengirimkan hadyu adalah lebih banyak/lebih besar daripada kehendak menyembelih kurban.” (Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)

 

Jadi, hadits Aisyah di atas oleh Imam Syafi’i dijadikan qarinah bahwa larangan memotong kuku dan rambut bagi orang yang hendak menyembelih kurban (dalam hadits Ummu Salamah) adalah larangan makruh, bukanlah larangan haram.

 

Kesimpulannya, bagi orang yang hendak berkurban, makruh hukumnya bagi dia untuk memotong kuku dan rambutnya pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah hingga dia selesai menyembelih kurbannya. 

Bolehkah Qurban Atas Nama Perusahaan/Sekolah?

Bolehkah qurban atas nama perusahaan?

Misal pada saat idul adha melakukan qurban sapi/kambing dengn mengatasnamakan perusahaan, bagaimana hukumnya?

Menurut guru kami KH Shiddiq al jawi bahwa Tidak sah hukumnya berkurban atas nama perusahaan, karena perusahaan tidak memenuhi syarat-syarat pekurban (al mudhahhi) yang hanya dapat diberlakukan pada seorang mukallaf, yaitu manusia yang sebenarnya (al syakhsh al haqiiqi). 

Syarat-syarat pekurban tidak dapat diberlakukan pada sebuah badan hukum (al syakhshiyyah al i’tibariyyah), seperti PT, kampus, lembaga, institusi, dsb.selengkapnya baca caption


Adapun syarat-syarat pekurban (al mudhahhi) adalah :

Pertama, beragama Islam (muslim).

Kedua, berakal sehat (‘aqil).

Ketiga, dewasa (baligh). Tidak sah kurban dari anak-anak yang belum baligh (berumur 15 tahun hijriyah).

Keempat, mampu (ghani, al maqdirah al maliyah). Tidak disyariatkan kurban bagi orang yang belum berkemampuan, seperti orang fakir, miskin, dsb.


Berdasarkan syarat-syarat pekurban (al mudhahhi) tersebut, jelaslah syarat-syarat tersebut hanya dapat diberlakukan pada seorang mukallaf, yaitu seorang manusia yang sebenarnya (al syakhsh al haqiiqi, natural person), tidak dapat diberlakukan pada suatu badan hukum (al syakhshiyyah al ma’nawiyyah, legal person).


Karena itu, tidak sah hukumnya berkurban atas nama perusahaan, karena perusahaan tidak memenuhi syarat-syarat pekurban (al mudhahhi) yang ditetapkan syara’.


Namun sembelihannya tetap halal dimakan sebagai sembelihan biasa, selama memenuhi syarat-syarat penyembelihan syar’i.


Solusinya adalah kurban diatasnamakan salah seorang dari perusahaan, setelah dilakukan akad hibah dari perusahaan kepada salah satu karyawannya. Wallahu a’lam.


(Diambil dari materi tanya jawab KH.Shiddiq Al Jawi)

Patungan Qurban Sapi Kurang 7 Orang

Bolehkah PATUNGAN KURBAN SAPI KURANG DARI TUJUH ORANG?

Boleh hukumnya patungan untuk menyembelih satu ekor sapi atau unta oleh kurang dari tujuh orang, misalnya oleh empat atau lima orang. Hal itu karena syara’ telah membolehkan patungan untuk satu ekor sapi atau unta oleh tujuh orang, sehingga masing-masing orang membayar sepertujuh harga sapi. Jika membayar sepertujuh boleh, berarti membayar lebih besar dari sepertujuh hukumnya lebih boleh lagi.


Imam Syafi’i mempunyai pendapat yang sama, beliau berkata,”Jika mereka itu jumlahnya kurang dari tujuh orang, maka itu mencukupi untuk mereka, sedang mereka itu sukarela membayar lebih, sebagaimana mencukupi berkurban satu ekor unta dari seseorang yang seharusnya cukup berkurban satu kambing, lalu dia secara sukarela berkurban unta yang harganya lebih dari satu ekor kambing.” (wa in kaanuu aqalla min sab’atin ajza’athum, wa hum mutathawwi’uuna bil-fadhli, kamaa tujzi’u al jazuura [al ba’iira] ‘an man lazimathu syaatun, wa yakuuna mutathawwi’an bi-fadhlihaa ‘an asy syaath). (Imam Syafi’i, Al Umm, Juz II, hlm. 244).

Sesungguhnya dalil kebolehannya tetap mengacu pada hadits shahih dari Nabi SAW yang membolehkan patungan oleh tujuh orang untuk berkurban sapi atau unta, yaitu hadits Jabir bin Abdillah RA, bahwa dia berkata,”Kami telah menyembelih bersama Rasulullah SAW pada masa Perjanjian Hudaibiyyah seekor unta dari tujuh orang, dan seekor sapi dari tujuh orang.” (HR Muslim, no. 1318).


Hanya saja, penarikan kesimpulan hukumnya tidak terbatas pada makna yang tersurat (manthuuq) dalam hadits di atas, melainkan dari makna yang tersirat (mafhuum), yaitu mafhuum muwaafaqah yang berarti menarik kesimpulan hukum yang masih sejalan dengan makna yang tersurat (manthuuq), dalam kadar atau ukuran yang lebih besar. Jadi jika seekor sapi boleh patungan oleh tujuh orang, sehingga satu orang menanggung sepertujuh harga sapi, maka kalau patungannya oleh kurang dari tujuh, lebih boleh lagi, karena berarti yang ditanggungnya lebih besar dari sepertujuh harga sapi.


(DIAMBIL DARI Materi tanya jawab guru kami KH.Shiddiq Al Jawi)

Rabu, 14 Juni 2023

Kriteria Judi Menurut Islam

Kita sadar bahwa judi itu diharamkan, misal ada yang bermain remi /domino dengan uang kita langsung bisa sebut bahwa itu judi. Namun kalau dirubah faktanya misal main kelereng, dimana yang menang berhak atas kelereng yang kalah kita langsung bingung apakah ini judi atau bukan. Nah maka kita harus paham apakah definisi dari judi, nah..

Menurut anda oermainan kelereng diatas termasuk judi atau bukan? 


Definisi judi :

القمار هو كل لعب يشترط فيه أن يأخذ الغالب من المغلوب شيئا

“Judi adalah setiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu [harta] dari pihak yang kalah.”

(Prof. Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 281).


Judi hukumnya haram dalam Islam, dan merupakan dosa besar (kaba`ir).

Dalilnya firman Allah SWT:

“Hai orang2 yg beriman, sesungguhnya [minum] khamr (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maa`idah [5] : 90)


judi harus memenuhi 3 (tiga) kriteria :

1) Ada suatu permainan (la’bun), yang fungsinya untuk menentukan pemenang, misalnya sepak bola,catur, tinju, dsb.

2) Ada harta [taruhan] yang berasal dari para peserta.

3) Ada pengambilan harta oleh pihak pemenang dari pihak yang kalah.

Bolehkah Asosiasi Menentukan Harga Bersama?

Menurut Islam Bolehkah asosiasi/perkumpulan bisnis bersepakat menetapkan harga ?


Penetapan harga di dalam Islam mengikuti hukum supply dan demand secara wajar. Dan kesepakatan harga terjadi antara penjual dan beli dengan keridhaan keduanya. Islam telah melarang pematokan harga (tas’ir) yang dilakukan oleh penguasa/asosiasi pedagang dengan mematok harga minimum dan harga maksimum.  Dalilnya dalam HR Ahmad , Rasulullah bersabda Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) atas harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak Allah untuk mendudukkannya di tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak.



Islam telah melarang pematokan harga (tas’ir) yang dilakukan oleh penguasa dengan mematok harga minimum dan harga maksimum. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari Anas yang mengatakan: “Harga pada masa Rasulullah saw membumbung tinggi. Lalu mereka (para Sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).


Sebagaimana negara dilarang mematok harga, perusahaan juga dilarang mengikuti perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal. 

Penimbunan Barang Menurut Islam

Menurut islam bolehkah menimbun barang dagangan sehingga harga menjadi naik ?


Penimbunan (ihtikar) adalah perbuatan orang yang menumpuk/menimbun barang dagangan sehingga harga barang-barang tersebut naik dan dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, yang mengakibatkan warga setempat sulit untuk membelinya.


Penimbunan secara mutlak dilarang, dan hukumnya haram. Karena adanya larangan yang tegas di dalam hadits. Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Sa'id Bin Al Musaib dari Ma'mar Bin Abdullah Al Adawi, bahwa Nabi SAW bersabda dalam HR muslim,

“Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah” 



Disebut penimbunan jika memang memenuhi syarat, yakni sampai pada batas-batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang ditimbun. Pasalnya, fakta penimbunan memang tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini. Kalau seandainya penumpukkan barang tidak menyulitkan warga setempat untuk membelinya maka tentu penimbunan barang tersebut tidak terjadi. Dengan kata lain, tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap barang tersebut, sehingga bisa dijual dengan harga mahal. 


Atas dasar ini, syarat terjadinya penimbunan bukanlah semata-mata pembelian barang dan menyimpannya. Akan tetapi semata-mata karena menumpuk barang dagangan dengan menunggu harga naik agar bisa menjualnya dengan harga mahal, itulah yang dianggap sebagai penimbunan; baik menimbunnya dengan cara memborongnya atau karena hasil buminya yang luas sementara hanya dia yang mempunyai jenis hasil bumi tersebut, atau karena langkanya tanaman tersebut, atau menimbunnya untuk kepentingan industri-industrinya (monopoli), sementara hanya dia yang mempunyai industri tersebut, atau karena langkanya industri tersebut, sebagaimana berbagai kasus penimbunan yang terjadi dalam sistem kapitalis saat ini. Mereka  biasanya melakukan penimbunan produk dengan membunuh semua industri yang ada, selain industri mereka sendiri. Kemudian mereka mendominasi pasar. Jadi, semua ini merupakan praktik penimbunan, sebab semuanya sesuai dengan makna kata ihtakara-yahtakiru, menurut makna bahasa. Dimana, makna hukratu-ihtikar adalah membatasi jumlah barang atau barang-barang tertentu untuk dijual dengan menunggu naiknya harga, lalu menjualnya ketika harganya membumbung.

Selasa, 06 Juni 2023

Jual beli najasy

Jual Beli najasy dilarang Islam. Begini ceritanya

misalnya pembeli “A” menawar barang di pasar dengan harga 50 ribu. “A” merupakan orang yang benar-benar membutuhkan barang ini. Kemudian datang pembeli “B”, orang yang berpura-pura menawar barang tersebut dengan harga 75 ribu. Karena pembeli “A” takut tidak mendapatkan barang dan benar-benar membutuhkan barang ini, maka pembeli “A” akan menaikkan penawaran menjadi 80 ribu dan pada akhirnya penjual akan menjualnya pada pembeli “A” dengan harga 80 ribu.

Bai’ najasy adalah rekayasa pasar yaitu seorang produsen menciptakan permintaan palsu seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk itu naik.

 Dalam HR bukhori Rasul SAW  telah melarang jual-beli dengan sistem najasy.

selengkapnya baca caption

Jual beli yang dilarang Islam

Jual Beli ini terlarang menurut Islam,

Begini ceritanya..

Misal seseorang membeli suatu barang dengan harga 10 ribu rupiah, lalu seorang Muslim berkata kepada penjualnya, "Kembalikan uang itu kepada pemiliknya, pasti akan saya beli barang itu dari Anda seharga 13 ribu rupiah." ini tidak boleh berdasarkan Hadis riwayat bukhori muslim,Rasul saw. bersabda 

“Janganlah sebagian di antara kalian membeli barang yang telah dibeli oleh sebagian orang Islam lainnya.”

Sabtu, 03 Juni 2023

Hukum menerima pemberian dari caleg/capres

Menerima Pemberian dari Caleg


Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi


Tanya :


Bagaimana hukum menerima pemberian dari Caleg? (Setyo, Depok)


Jawab:


Para ulama kontemporer telah sepakat mengenai haramnya memberi atau menerima pemberian dalam rangka pemilu (al intikhaabaat), baik pemilu legislatif (al intikhabat al barlamaniyyah) maupun pemilu presiden (al intikhabat ar riasiyyah).


Para ulama tersebut hanya berbeda pendapat dalam hal alasan keharamannya.


Sebagian ulama seperti Dr Thal’at Afifi, juga ulama Lembaga Al Azhar (Muassasah Al Azhar), dan ulama Darul Ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan dengan alasan pemberian itu dianggap risywah. 


Sedang sebagian ulama lainnya seperti Prof Dr Ali As Salus mengharamkan karena pemberian itu dianggap pengkhianatan terhadap syahaadah (kesaksian) yang diberikan pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. (Fahad bin Shalih bin Abdul Aziz Al ‘Ajlan, Al Intikhaabaat wa Ahkaamuhaa fi Al Fiqh Al Islaami, hlm. 418;  www.manaratweb.com).


Menurut kami, hukumnya secara syar’i memang haram, baik memberi atau menerima pemberian, namun alasan keharamannya yang lebih tepat adalah karena risywah, bukan karena pengkhianatan syahaadah (kesaksian).


Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg (atau capres) kepada para pemilih. 


Pemberian ini termasuk dalam pengertian umum suap (risywah), yaitu suap adalah setiap harta yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian bagi pihak tersebut untuk menunaikannya. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 22/219).


Dalil-dalil umum yang mengharamkan suap antara lain hadits dari Abdulllah bin ‘Amr RA bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap dan yang menerima suap. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 


Juga hadits dari Tsauban ra bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad).


Imam Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dua hadits di atas dengan berkata, ”Hadits-hadits ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut yang batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapatkan manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/332).


Berdasarkan keumuman dalil haramnya suap ini, maka haram hukumnya pemberian caleg, baik bagi pihak yang memberi (caleg) maupun bagi pihak yang menerima (pemilih).


Terlebih lagi, suap yang diberikan ini adalah suap untuk menuntut yang batil. Karena dalam sistem demokrasi saat ini seorang anggota legislatif akan melakukan kebatilan di parlemen, yaitu menjalankan tugas legislasi dengan menyusun UU yang bukan Syariah Islam.


Adapun tidak tepatnya alasan haramnya pemberian caleg karena dianggap pengkhianatan syahaadah (kesaksian), karena syahaadah itu secara syar’i hanya diberikan dalam sidang peradilan (majelis al qadha), bukan di luar sidang pengadilan seperti di TPS (Tempat Pemungutan Suara).


Syeikh Ahmad Ad Da’ur dalam kitabnya Ahkaamul Bayyinaat menjelaskan definisi kesaksian (syahaadah) sebagai pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan redaksi persaksian yang dilakukan di majelis peradilan. (Ahmad Ad Da’ur, Ahkaamul Bayyinaat, hlm.6)


Kesimpulannya, haram hukumnya seorang caleg memberi pemberian, sebagaimana haram pula hukumnya seorang Muslim menerima pemberian itu, baik berupa uang maupun barang. Sama saja apakah diberikan dalam rangka kampanye, maupun diberikan secara terselubung tetapi ada indikasi kuat terkait kampanye, misalnya memberikan hadiah saat pengajian atau berinfak membantu pembangunan masjid menjelang waktu pemilu. Wallahu a’lam