banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Minggu, 31 Desember 2023

Hukum Syariah Makan Lobster, Cumi Dimasak Dalam Keadaan Hidup



 


Tanya :

Ustadz, apa hukumnya makan daging yang ketika proses memasaknya, masih dalam keadaan hidup, seperti udang, lobster, kepiting, cumi, dan lain-lain, karena memang mindset yang ada, seafood disebut segar apabila dalam keadaan hidup sebelum dimasak. Contohnya udang, beberapa kasus, dalam keadaan hidup, hanya cukup disiram air bersih, langsung dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas, dalam kasus lain, kepiting atau lobster, dipotong-potong, namun masih keadaan bergerak juga langsung dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas. PS : soalnya enak dan saya suka, Ustadz, tapi apakah halalan thayiban? Syukron. (Hamba Allah).


 


Jawab :

Tidak mengapa atau boleh (mubāh) hukumnya menurut syariah kita memakan seafood yang dimasak dalam keadaan hidup, sebagaimana yang ditanyakan dalam pertanyaan di atas. Pendapat inilah yang kami pilih sebagai pendapat yang lebih kuat (rājih), dari dua pendapat ulama dalam masalah ini, yaitu memakan ikan (atau hewan laut secara umum) yang dimasak dalam keadaan hidup. Pendapat pertama, hukumnya makruh. Ini pendapat mazhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmū’. Pendapat kedua, hukumnya boleh (mubāh) tanpa ada kemakruhan. Ini pendapat mazhab Maliki, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb penulis kitab Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl.


Pendapat yang memakruhkan, adalah pendapat mazhab Syafi’i. Imam Nawawi yang bermazhab Syafi’i berkata :


وَلَوْ ابْتَلَعَ سَمَكَةً حَيَّةً أَوْ قَطَعَ فِلْقَةً مِنْهَا وَأَكَلَهَا أَوْ ابْتَلَعَ جَرَادَةً حَيَّةً أَوْ فِلْقَةً مِنْهَا فَوَجْهَانِ (أَصَحُّهُمَايُكْرَهُ وَلَا يَحْرُمُ

“Kalau seseorang menelan seekor ikan dalam keadaan hidup, atau memotong satu potongan dari ikan hidup itu lalu memakannya, atau misalnya seseorang menelan belalang dalam keadaan hidup, atau memotong satu potongan dari belalang hidup itu lalu memakannya, maka ada dua pendapat. Pendapat yang paling sahih dari kedua pendapat yang ada, hukumnya makruh, bukan haram.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 9/81).


Pendapat yang membolehkan tanpa kemakruhan, adalah pendapat mazhab Maliki. Imam Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb dalam kitabnya Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, meriwayatkan pendapat Imam Malik RA sebagai berikut :


وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنْ الْحُوتِ يُوجَدُ حَيًّا، أَيُقْطَعُ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ؟ قَالَلَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ لَا ذَكَاةَ فِيهِ وَأَنَّهُ لَوْ وُجِدَ مَيِّتًا أَكَلَ فَلَا بَأْسَ بِهِ أَنْ يُقْطَعَ قَبْلَ أَنْيَمُوتَ وَأَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ وَهُوَ حَيٌّ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Imam Malik pernah ditanya mengenai ikan yang ditemukan dalam keadaan hidup, apakah harus dipotong dulu sebelum ikan itu mati? Imam Malik menjawab,”Tidak mengapa itu dilakukan (memotong ikan sebelum ikannya mati), karena ikan itu tidak memerlukan penyembelihan, dan bahwa kalau ikan itu ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai, lalu ada orang yang memakannya, tidak mengapa. (Kalau orang itu) memotong sebelum ikannya mati, atau dia melemparkan ikan itu ke dalam api dalam keadaan hidup, maka tidak mengapa hal yang demikian itu.” (Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb, Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, 4/346).


Kutipan dari Imam Malik di atas yang terkait dengan pembahasan kita, adalah :


وَأَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ وَهُوَ حَيٌّ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Kalau dia melemparkan ikan itu ke dalam api dalam keadaan hidup, maka tidak mengapa hal yang demikian itu.” (Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb, Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, 4/346).


Dari kutipan tersebut, menurut Imam Malik, tidak mengapa (lā ba`sa bi-dzālika), yaitu boleh hukumnya, seseorang memasak ikan dengan cara memasukkan ikan yang masih hidup ke dalam api, atau yang semisalnya, misalnya memasukkan ke dalam wajan berisi minyak goreng panas untuk menggoreng ikan tersebut.


Kami cenderung kepada pendapat Imam Malik ini, radhiyallāhu ‘anhu, yang menghukumi boleh tanpa kemakruhan, karena terdapat dalil khusus bahwa hewan-hewan laut itu tidak memerlukan penyembelihan (tadzkiyah), sehingga kalaupun hewan laut itu ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai (al-maytah), hukumnya halal untuk dimakan.


Kehalalan bangkai hewan laut ini didasarkan pada hadits shahih dari Rasulullah SAW :


Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai laut (al-bahr),”Dia (laut itu) suci airnya, dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud, no. 83; Ibnu Majah, no. 386; Ahmad, no. 8720; Al-Tirmidzi, no. 69; Al-Nasa`i, no. 59).


Hadits ini menunjukkan bahwa bangkai (al-maytah) dari hewan laut itu halal untuk dimakan. Sedangkan pengertian bangkai (al-maytah) dalam istilah syariah adalah :


“Bangkai (al-maytah) adalah hewan yang mati dengan sendirinya, atau hewan yang dimatikan tanpa penyembelihan syar’i.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 440).


Berdasarkan definisi bangkai di atas, jelaslah bahwa memasukkan hewan laut hidup-hidup ke dalam wajan berisi minyak goreng panas, jelas akan mematikan hewan laut tersebut tanpa melalui penyembelihan syar’i. Artinya, tindakan tersebut akan mengakibatkan hewan laut yang hidup itu otomatis menjadi bangkai (al-maytah). Padahal ada dalil khusus bahwa bangkai (al-maytah) dari hewan laut itu, hukumnya halal untuk dimakan dan tidak ada masalah.


Kesimpulannya, tidak mengapa atau boleh (mubāh) hukumnya tanpa disertai kemakruhan, kita memakan seafood yang dimasak dalam keadaan hidup. Demikian pendapat yang kami pilih sebagai pendapat yang rājih dalam masalah ini. Wallāhu a’lam.


Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer

Rabu, 20 Desember 2023

Hukum Julid Fisabilillah

Bagaimanakah hukumnya “julid fi sabilillah”?

Nah ini Pembahasan yang menarik, jadi julid fi sabilillah merupakan gerakan netizen Indonesia untuk melawan Zionis di media sosial, seperti tentara Israel (IDF), selebriti Israel, warga negara Israel, dan sebagainya


Julid fi sabiliillah” menurut guru kami kyai hajai shiddiq al jawi bahwa hukumnya boleh , karena dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk menghilangkan kemungkaran (izālatul munkar), yaitu upaya untuk menghilangkan kemungkaran dengan lisan (mulut), sesuai hadits riwayat muslim no.49 :

 Dari Abu Said Al-Khudri RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya dia ubah dengan tangannya (kekuasaannya). Kalau dia tidak mampu, hendaknya dia ubah dengan lisannya, dan kalau dia tidak mampu, hendaknya dia ingkari dengan hatinya. Dan inilah selemah-lemahnya iman.” 


Bahkan,, jika pelaku “julid fi sabilillah” meniatkannya dengan ikhlas lillahi ta’ala untuk berjhad, In syaa Allah aktivitasnya ini memang termasuk jihad fi sabilillah yang diwajibkan dalam Islam untuk melawan kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. 

 

Rasulullah SAW telah bersabda dalam hr abu dawud :

 

“Berjihadlah kamu melawan kaum musyrikin dengan harta-harta kamu, dengan diri-diri kamu, dan dengan lisan-lisan kamu.” 


Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kita umat Islam untuk berjihad melawan kaum musyrikin, salah satunya dengan “lisan-lisan kamu”, yakni maksudnya dengan ucapan-ucapan kamu (bi-aqwālikum), termasuk dengan menggunakan sarana modern yang mewakili ucapan langsung dengan lidah dan mulut, yaitu dengan teks digital melalui berbagai gadget kita.


 

Perintah Rasulullah SAW untuk berjihad melawan kaum musyrikin, sesungguhnya tidak terbatas kepada kaum musyrikin saja, namun secara umum adalah berjihad melawan kaum kafir, baik dari Ahlul Kitab (kaum Yahudi dan Nashrani), maupun dari kaum musyrikin yang tidak mempunyai kitab yang diturunkan oleh Allah SWT kepada mereka. Buktinya Allah SWT juga memerintahkan umat Islam untuk berjihad melawan kaum kafir Ahlul Kitab dalam Al-Qur`an (lihat misalnya QS At Taubah : 29).  

 

Kesimpulannya, apa yang disebut “julid fi sabilillah” boleh hukumnya dilakukan sebagai salah satu cara untuk melawan Zionis dan Israel, karena setidaknya dapat dianggap sebagai upaya untuk menghilangkan kemungkaran. Bahkan jika pelakunya meniatkan dengan ikhlas untuk berjihad fi sabilillah karena Allah SWT, in syaa Allah perbuatan itu termasuk jihad fi sabilillah yang sangat agung pahalanya. Wallahu ‘alam.


(Materi diambil dari guru kami KH Shiddiq al Jawi)