banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Rabu, 31 Mei 2023

Batas Maksimal Laba Menurut Islam

BATAS MAKSIMAL LABA PERDAGANGAN


Tanya :


Ustadz, apakah dalam syariah Islam ada batas maksimal laba dalam perdagangan, misalnya 30 persen atau 100 persen?


Muhammad, Bogor


 Jawab :


Yang dimaksud dengan “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 70).


Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis(menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 72-74; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 191).


Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa [4] : 29).


Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al bai’ wa al syira li gharadh ar ribhi). (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/31; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/151; Rawwas Qal’ah Jie,Mu’jam Lughah Al Fuqaha, hlm. 26).


Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).


Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 75; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/33).


Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda.


Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 76).


Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdaganga nnya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 74; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/30). Wallahu a’lam.[]


Dijawab oleh : K.H. M. Shiddiq al Jawi


Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 115




Menurut Islam berapa sih laba maksimal dalam perdagangan ?

“laba” dalam perdagangan/jual beli iadalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya.

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga.

Yang rajih/kuat adalah tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. 

Selengkapnya baca caption

Pemodal minta jaminan Bolehkah?

PEMODAL MEMINTA JAMINAN KEPADA PENGELOLA MODAL, BOLEHKAH?*

 

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

 

*Tanya :*

 

Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada investor yang akan memodali usaha, tetapi meminta jaminan aset dari pengelola modal? (Eri S. Laksmono, Jakarta) 

 

*Jawab :*


Haram hukumnya pemodal _(shâhibul mâl)_ menetapkan syarat adanya jaminan _(dhamân)_ dari pengelola modal _(mudhârib)_ dalam akad syirkah, untuk mengganti kerugian yang mungkin akan dialami oleh pemodal. Para fuqoha sepakat jika syarat itu ditetapkan oleh pemodal, syarat itu batil (bertentangan dengan syariah). Para fuqoha hanya berbeda pendapat apakah akad syirkahnya tetap sah atau menjadi tidak sah. (Ja’fâr bin Abdurrahman Qashshâsh, _Dhamân Al Mudhârib Rasal Mâl : Dirâsah Fiqhiyyah,_ hlm. 6; ‘Abdullâh Muhammad Al ‘Ajlân, _Hisâb Al Mudhârabah : Dirâsah Tashîliyyah Tathbîqiyyah ‘Alâ Al Mashârif Al Su’ûdiyyah,_ hlm. 85). 


Selengkapnya baca di http://fissilmi-kaffah.com/index/tanyajawab_view/344


Kanal Resmi USAJ (Ustadz Shiddiq Al Jawi)

Website: www.fissilmi-kaffah.com (Fiqih)

www.shiddiqaljawi.com (Afkar - Siyasi)

Instagram : @ustadz_shiddiqaljawi

Facebook : fb.com/mshiddiqaljawi

Twitter : Twitter.com/ShiddiqAljawi

Telegram : t.me/shiddiqaljawi


Bolehkah investor yang memodali usaha meminta jaminan aset dari pengelola modal?

Hukumnya tidak boleh pemodal (shâhibul mâl) menetapkan syarat adanya jaminan (dhamân) dari pengelola modal (mudhârib) dalam akad syirkah untuk mengganti kerugian yang mungkin akan dialami oleh pemodal. Para fuqoha sepakat jika syarat itu ditetapkan oleh pemodal, syarat itu batil (bertentangan dengan syariah).

Selengkaonya baca vaption


Para fuqoha sepakat jika syarat itu ditetapkan oleh pemodal, syarat itu batil (bertentangan dengan syariah). Para fuqoha hanya berbeda pendapat apakah akad syirkahnya tetap sah atau menjadi tidak sah. 


Imam Ibnu Abdil Barr berkata :

”Tak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa seorang pengelola modal adalah orang yang dipercayai (mu`taman) yang tak berkewajiban menjamin kerugian (lâ dhamân ‘alaihi) pada modal yang lenyap di tangannya selama kerugian itu terjadi tanpa kesengajaan berbuat jahat (jinâyah) darinya, atau tanpa tindakan merusak (istihlâk) darinya, atau tanpa unsur kelalaian (tadhyî’) [menunaikan amanah darinya]…” (Ibnu ‘Abdil Bar, Al Istidzkâr, 7/5).


Imam Ibnu Taimiyyah berkata :

”Jika mereka bersyirkah di mana sebagian bekerja dengan badannya, seperti seorang pengelola modal (mudhârib), sedang sebagian lainnya bekerja dengan modalnya, atau dengan badan dan modalnya sekaligus, dan modal itu lenyap baik sebagian maupun seluruhnya, tanpa ada kesengajaan (‘udwan) atau kelalaian (tafrîth) dari pihak pengelola modal dengan badannya (kerjanya), maka tidak ada kewajiban atas pengelola modal itu untuk menjamin kerugian apa pun, baik mudharabahnya sah maupun fasid. Ini adalah kesepakatan ulama. Wallahu a’lam.” (Ibnu Taimiyyah, Majmû’ Al Fatâwâ, 30/82).


Imam Ibnu Qudamah mengatakan :

”Apabila disyaratkan atas pengelola modal untuk menjamin modal [yang diserahkan kepadanya], atau menanggung bagian tertentu dari kerugian, maka syarat itu batil. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini…” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/40).


Selasa, 23 Mei 2023

Penjelasan Riba

Sebenarnya riba itu apa sih?

Riba itu termasuj dosa besar,Dalam HR Ahmad disrbutkan “Satu dirham riba yang dimakan seseorang sedang dia tahu, lebih berat dosanya daripada 36 kali berzina

Definisi Riba adalah setiap tambahan bagi satu pihak yang berakad dalam akad jual beli tanpa pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu (tempo).

Definisi gabungan dari dua macam riba, yaitu :

Pertama, riba fadhl, atau disebut riba dalam jual beli. Contoh riba fadhl, kelebihan yang terjadi ketika terjadi pertukaran uang rupiah dengan uang rupiah yang tidak senilai.

Mis : Rp 100.000 satu lembar, ditukar Rp 5.000 sebanyak 18 lembar

Kedua, riba nasi`ah, atau disebut riba dalam utang piutang)

Contoh riba nasi’ah, bunga bank. Baik bunga yang sedikit (misal 0,5 %) maupun besar (misal 25%).



Riba fadhl adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran (jual beli) tanpa ada pengganti.

Riba fadhl (riba al buyuu’) terjadi pada 6 (enam) jenis barang ribawi, yaitu: (1) emas, (2) perak, (3) gandum, (4) jewawut, (5) kurma, (6) garam.

Riba fadhl juga terjadi pada uang, karena uang disamakan hukumnya dengan emas dan perak.


Contoh riba fadhl :

1) Kurma kualitas bagus seberat 1 kilogram ditukar kurma kualitas sedang seberat 2 kilogram.

Kelebihan (tambahan) kurma kualitas sedang seberat 1 kilogram inilah yang disebut riba fadhl.

2) Uang Rp 100.000 satu lembar, ditukar dengan uang Rp 5000 sebanyak 18 lembar.

Kelebihan (tambahan) Rp 10.000 inilah yang disebut riba fadhl.


Berdasarkan hadits tersebut, syarat untuk pertukaran (jual beli) barang-barang ribawi yang enam adalah sbb :

Jika Barang Yang Ditukarkan Sejenis (Emas Dengan Emas, Dst), Syaratnya 2 (Dua) :

Pertama, tamaatsul (sama beratnya atau takarannya).

Kedua, taqaabudh (secara kontan, yaitu terjadi serah terima di majelis akad).

Jika barang yang ditukarkan berbeda jenis (Emas dengan gandum, dst), syaratnya hanya 1 (satu), yaitu taqaabudh (secara kontan, yaitu terjadi serah terima di majelis akad).


Riba nasii’ah adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu.

Riba nasii’ah = riba dalam utang piutang (riba al duyuun).

Termasuk di dalam riba nasii`ah, adalah riba dalam akad qardh (pinjaman).

Bentuk riba dalam qardh => segala manfaat yang muncul karena qardh, baik uang, barang, manfaat, dll.


Bunga bank (interest, fawa`idul bunuk) adalah bentuk modern riba nasi`ah.

Kamis, 18 Mei 2023

Pegadaian bolehkah menurut Islam?

Pegadaian bolehkah menurut Islam?

Jika kita kaji secara cermat, maka kita dapat menyimpulkan bahwa transaksi yang ada di pegadaian konvensional adalah termasuk transaksi utang-piutang (qardh) dengan menggunakan jaminan utang (rahn). Hukum dari transaksi pegadaian ini adalah haram, karena dalam pengembalian utang tersebut

ada kewajiban memberikan bunga (sewa modal) berupa prosentase tertentu.

Adanya tambahan bunga atas pokok hutang tersebut dapat dikategorikan sebagai riba nasi'ah yang haram hukumnya. 



Untuk memahami bagaimana praktik pegadaian konvensional, marilah kita lihat contoh praktik transaksinya sebagai berikut (Abdurrahman, 2012):

1. Nasabah datang ke pegadaian dengan membawa barang gadaiannya.

2. Barang gadaian akan ditaksir oleh pihak pegadaian. Misalnya, barangnya senilai 10 juta rupiah.

3. Dengan nilai barang gadaiannya it, nasabah berhak mendapatan utang 92 % dari nilai taksirannya, yaitu sebesar 9,2 juta rupiah.

4. Untuk mendapatkan utang tersebut, nasabah juga harus membayar beaya administrasi.

5. Jika nasabah mengambil jangka waktu utangnya 4 bulan (120 hari), maka setelah jatuh tempo, untuk menebus barangnya nasabah harus membayar pokok hutangnya ditambah dengan bunga (sewa modal) sebesar 12,8%.

6.Total pembayaran yang harus diberikan oleh nasabah adalah : Rp.9.200.000 + (12,8 % x Rp.9.200.000) = Rp.10.380.000


Yang dimaksud dengan riba nasiah adalah:

"'Tambahan yang diberikan sebagai pengganti dari waktu (tempo)"


Dalil tentang haramnya riba nasi'ah, di antaranya adalah berdasarkan sabda Nabi SAW:


"Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah." (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir).


“Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa'at adalah riba" (HR. Baihaqi).


“Setiap pinjam meminjam yang menghasilkan manfaat adalah salah satu cabang daripada riba.” (HR.Baihaqi)


(Diambil dari materi guru kami Ust.Dwi Condro,Ph.D)

Gopay bolehkah menurut Islam?

Gopay bolehkah menurut islam?

Ada dua pendapat ulama kontemporer.Yang pertama membolehkan secara mutlak. Dan yang kedua membolehkan dengan syarat.

Menurut kami yang rajih /kuat adalah yg membolehkan dengan syarat tidak menggunakan go pay untuk transaksi yang memunculkan manfaat berupa diskon, karena diskon tersebut masuk dalam kategori riba yang diharamkan.


Deposit yang telah dibayar-kan ke Go-Pay faktanya dianggap sebagai utang-piutang/qardh bukan titipan/wadiah. Karena bila masuk kategori titipan maka pihak Go-Pay harus menyediakan kotak penyimpanan (save deposit box), dan pihak Go-Pay tidak boleh memanfaatkan dana titipan tersebut.


Jika harta tersebut dikembalikan dalam bentuk harta lain yang semisal / senilai, bukan harta semula maka transaksi tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai transaksi wadiah.


Dengan kata lain, deposit tersebut dianggap sebagai uang atau dana yang diutangkan (dipinjamkan) oleh pengguna kepada Go-Pay.


"Pinjaman (gardh) adalah apa-apa yang kamu berikan berupa harta. mitsliyat (harta semisal) untuk dikembalikan kepadamu harta yang

semisalnya pada masa yang akan datang

" (Syaikh Rawwas Qal’ah Jie dan Hamid Shadiq Qunaibi)


Jika deposit itu adalah qardh, maka manfaat apa saja yang muncul dari qardh,baik berupa uang, barang atau jasa, maka manfaat itu dapat dikategorikan sebagai riba.


"Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa'at adalah riba” (HR.Baihaqi)


(Diambil dari materi guru kami Ust.Dwi Condro,Ph.D)


Kamis, 11 Mei 2023

MLM bolehkah menurut Islam?

terdapat beberapa fakta yang menonjol dalam MLM sbb :

(1) Yang menjadi tujuan utama bisnis MLM bukanlah produk, tapi komisi, yang akan semakin besar setiap kali struktur piramida semakin tinggi. (2) Harga produk yang dijual di MLM jauh lebih mahal daripada harga pasar.

Harga produk MLM bisa mencapai dua atau tiga kali lipat dari harga pasar.

(3) Struktur piramida suatu saat akan berhenti, dan akan memakan korban, yaitu lapisan terbawah yang tidak mempunyai lapisan bawahnya lagi.Akibatnya, mereka (lapisan terbawah ini) akan mengalami kerugian,

Kesimpulannya MLM hukumnya secara syari tidak boleh dengan beberapa alasan diantaranya


Dalil-dalil syar’i yang mengharamkan MLM adalah sbb :

(1) MLM mengandung transaksi riba dalam dua jenisnya, yaitu : riba fadhl dan riba nasiah.

Karena hakikatnya, muamalah yang ada adalah uang ditukar dengan uang,

disertai adanya tafadhul (nilai yang diterima lebih banyak drpd yang dibayarkan) => riba fadhl. dan selain itu ada ta`khir (ada selang waktu antara waktu membayar dan waktu menerima uang) => riba nasi`ah.

Adapun produk (sabun dll) dalam MLM sebenarnya hanya kamuflase saja, dan tidak ada pengaruhnya dalam penetapan status hukum.Karena yang paling dicari dalam MLM sebenarnya adalah komisi, bukan produk.


(2) Terdapat gharar (ketidakpastian) yang telah diharamkan secara syariah.

Karena peserta MLM tidak tahu, apakah akan dapat memperoleh jumlah peserta baru di bawahnya (down line) sesuai jumlah yang ditetapkan?

Dan ketika MLM berakhir suatu saat, peserta tidak tahu apakah akan berada pada lapisan atas yang beruntung, ataukah lapisan terbawah yang merugi?


(3) MLM mengandung muamalah yang diharamkan, yaitu memakan harta orang lain secara batil, khususnya bagi perusahaan MLM ataupun peserta MLM pada lapisan atas yang mendapat harta secara batil dari lapisan bawahnya.

Memakan harta orang lain secara batil, diharamkan Allah SWT

(Lihat QS An Nisaa` : 29)

 (4) MLM mengandung unsur penipuan (al ghisy) kepada masyarakat, yaitu adanya iming-iming berupa komisi yang besar, yang pada umumnya tidak dapat diperoleh oleh peserta MLM.


(5) MLM mengandung unsur judi (qimar), karena uang yang dibayarkan para peserta MLM ketika membeli produk, hakikatnya bukan untuk membeli produk, tapi sbg taruhan untuk mendapat keuntungan dari sistem MLM (komisi/bonus, dll).


(6) MLM mengandung multiakad (uqud murakkabah/hybrid contracts) yang telah dilarang secara syara’.


(7) MLM mengandung samsarah (perantara jual beli) yang tidak sah, yaitu samsarah dengan lebih dari satu orang simsar (perantara)


(8) Dalam MLM biasanya terjadi ghaban fahisy, yaitu menjual barang yang jauh lebih mahal dari harga pasar.


(Diambil dari materi kajian Guru kami KH.Shiddiq Al Jawi)

Senin, 08 Mei 2023

Jual Beli Saham Menurut Islam

Jual beli saham bolehkah menurut islam?

saham didefinisikan sebagai, “surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan berbentuk perseroan terbatas/PT.

Jual beli saham terbagi menjadi dua pandangan. Yg pertama menurut sebagian ahli fikih kontemporer bahwa tidak boleh memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Namun, jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal maka boleh. Lalu Pendapat fukaha/ahli fikih Yg kedua bahwa tetap mengharamkan jual-beli saham walau dari perusahaan yang bidang usahanya halal. Yang disoroti adalah bentuk badan usaha perseroan terbatas/PT yang sesungguhnya tidak islami. PT(syirkah musâhamah) adalah bentuk syirkah yang batil (tidak sah) karena bertentangan dengan hukum-hukum syirkah dalam Islam.yaitu tidak ada ijab qabul antara pihak pemodal dan pengelola, Yang ada hanyalah persekutuan para pemodal saja (syarikul-mal). Pengelolaan justru diserahkan menggaji pihak lain yang tidak terlibat dalam akad perseroan, yaitu pihak dewan direksi sebagai bawahan.Nah.. Saya sendiri mengambil pendapat yang kedua ini.


Jadi, sebelum melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah islâmiyah) atau tidak.

Aspek inilah yang tampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan pakar ekonomi Islam saat ini. Terbukti, ahli fiqih pertama tidak menyinggung sama sekali aspek krusial ini. Perhatiannya lebih banyak terfokus pada identifikasi bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan, 1996; az-Zuhaili, 1996; al-Mushlih & ash-Shawi, 2004; Syahatah & Fayyadh, 2004)


Dalam akad PT tidak ada pihak yang bertindak sebagai pengelola yang akan melakukan usaha. Yang ada hanyalah persekutuan para pemodal saja (syarikul-mal). Pengelolaan perusahaan justru diserahkan pada pihak lain yang tidak terlibat dalam akad perseroan, yaitu pihak dewan direksi. 


Dengan demikian, di dalam PT ini strukturnya menjadi dua tingkatan, yaitu pihak dewan komisaris (representasi dari para pemodal) sebagai atasan dan dewan direksi (representasi dari pengelola) sebagai bawahan. Aqad kedua belah pihak ini adalah akad ijarotul-ajir (akad sewa tenaga), bukan akad perseroan (syirkah).


Untuk pemahaman yang lebih mendalam, kita juga dapat melihat bahwa akad pembentukan PT ini sesungguhnya tidak sesuai dengan definisi syirkah secara syar’i, yaitu:


وَالشِّرْكَةُ شَرْعاً هِيَ عَقْدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ فَأكْثَرَ يَتَّفِقَانِ فِيْهِ عَلَى القِيَامِ بِعَمَلٍ مَالِيٍّ بِقَصْدِ الرِّبْحِ 


"Syirkah menurut makna syariah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan”.


Menurut definisi syirkah di atas, di dalam perseroan Islam, di antara para pesyirkah harus ada pihak yang menjalankan usaha atau bisnis secara langsung, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Perseroan Islam tidak boleh hanya kumpulan pemodal saja, kemudian membuat badan hukum perseroan, selanjutnya yang menjalankan bisnisnya justru adalah pihak lain yang digaji untuk menjalankan perusahaannya, sebagaimana yang terjadi pada Perseroan Terbatas.


qaidah syara’ yang menyebutkan:


إذَا سَقَطَ الْأصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ


“Jika gugur persoalan pokok, gugur pula persoalan cabangnya”.


Jika aqad pembentukan PT itu tidak sah alias bathil, karena tidak terwujudnya ijab qobul yang sah, maka Konsekuensi lanjutannya adalah: segala bentuk saham yang diterbitkan oleh PT juga bathil. Oleh karena itu, memperjualbelikan saham yang diterbitkan PT hukumnya juga tidak sah (bathil).


Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin an-Nabhani, al-Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah, karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/437).


Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Diambil sari materi giru kami KH M. Shiddiq al-Jawi dan Ust Dwi Condro Triono.Ph.D]

Kamis, 04 Mei 2023

Forex menurut Islam

Forex yaitu pasar perdagangan berbagai mata uang (valuta) melalui internet untuk mendapatkan keuntungan dari adanya fluktuasi nilai tukar berbagai mata uang.


Forex hukumnya haram menurut syara’ (hukum Islam), dengan 4 (empat) alasan sebagai berikut :

Pertama, dalam trading forex tidak terjadi taqabudh (serah terima) di majelis akad untuk mata uang yang diperdagangkan (dipertukarkan).

Padahal dalam HR Muslim adanya taqabudh (serah terima) adalah syarat bagi pertukaran mata uang, sesuai syarat yadan biyadin untuk pertukaran mata uang yang berbeda jenis (HR Muslim no 1587).


Kedua, dalam trading forex terdapat riba yang berbentuk biaya swap (atau disebut rollover fee) (rusuum at tabyiit), yaitu bunga yang harus dibayar oleh trader untuk mata uang yang dia jual dan sebaliknya trader akan mendapat bunga dari mata uang yang dibeli.

Karena trading forex selalu dilakukan dalam format pasangan mata uang, maka perhitungan selisih nilai swap (berupa bunga sekian persen) menjadi tak terhindarkan.

Adanya bunga yang dibayar atau diterima ini hukumnya jelas haram (QS Al Baqarah : 275


Ketiga, terjadi riba antara trader dengan broker. Karena broker memberikan pinjaman kepada trader dan trader mengembalikan pinjaman ini  dengan tambahan bunga.

 Haramnya riba sudah jelas (QS Al Baqarah : 275)


Keempat, terjadi gabungan akad qardh (pinjaman) dengan akad komersial, karena broker yang memberikan pinjaman kepada trader, mensyaratkan trader bertransaksi forex via broker itu.

 Syara’ telah mengharamkan gabungan akad pinjaman dengan akad komersial (dalam hal ini samsarah / brokerage), sesuai sabda Rasulullah SAW :

“Tidak halal menggabungkan akad pinjaman dengan akad jual beli (atau akad- akad komersial yang semisalnya, seperti samsarah, ijarah, dsb).” (HR Tirmidzi).