banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Sabtu, 08 April 2023

Haji atau Umroh Utang bolehkah?

Bolehkah pergi umroh atau haji dengan biaya dari utang ?


Hukum asalnya adalah tidak wajib seseorang berutang untuk naik haji atau umroh, jika dia belum mempunyai kemampuan (istiṭā’ah) utk naik haji, termasuk kemampuan dalam hal  biaya. 

Dalam QS Ali ‘Imran [3] : 97. Allah SWT berfirman yang artinya :

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”

Akan tetapi, menurut para fuqoha`, boleh bagi seorang muslim untuk berutang demi dapat naik haji atau berumroh, asalkan dapat memenuhi syarat sebagai berikut:

Pertama, orang yang berutang itu mempunyai kemampuan untuk melunasi pinjaman tersebut.

Kedua, utang yang dilakukan tidak mengakibatkan mudharat bagi keluarga yang wajib dinafkahi ketika dia mengangsur melunasi pinjamannya.

Ketiga, pemberi pinjaman (al-muqtaridh) ridho dengan kepergian pihak peminjam (mustaqridh) untuk berangkat naik haji atau berumroh.

Keempat, pinjaman itu tidak mengandung riba.



Mengenai syarat pertama, yaitu orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi pinjaman tersebut, telah terdapat riwayat mauqūf (pendapat/ijtihad shahabat) dari Abdullah bin Abi Awfā RA sebagai berikut :

Dari Abdullah bin Abi Awfā RA, bahwa dia pernah ditanya mengenai seseorang yang berutang supaya dapat naik haji, maka dia menjawab, “[Seharusnya] dia mencari rizki dari Allah [bekerja], dan tidak meminjam.” Lalu Abdullah bin Abi Awfā RA berkata,”Kami dulu berkata,’Janganlah dia meminjam, kecuali dia mampu melunasi pinjaman itu.” (HR Al-Baihaqi).


Mengenai syarat kedua, utang yang dilakukan tidak mengakibatkan mudharat (bahaya) bagi keluarga yang wajib dinafkahi ketika orang yang berutang dalam proses melunasi utang tersebut. Jadi jika seseorang meminjam uang untuk naik haji, tetapi mengakibatkan terlantarnya nafkah untuk istri dan anak-anaknya ketika dia mengangsur untuk melunasi pinjamannya, maka peminjaman uang itu hukumnya haram. Adapun jika tidak mengakibatkan terlantarnya nafkah untuk istri dan anak-anaknya, maka boleh hukumnya dia meminjam uang untuk naik haji.


Syarat kedua ini sesungguhnya dapat didasarkan pada sabda Nabi SAW :

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan juga bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR Ibnu Majah, no. 1909).


Syarat ketiga, pemberi pinjaman (al-muqtaridh) ridho dengan kepergian pihak peminjam (mustaqridh) untuk naik haji atau berumroh. Adanya syarat keridhoan dari pihak pemberi pinjaman ini, dijelaskan antara lain oleh Syekh Al-Ḥaṭāb al-Ru’ainiy, ulama mazhab Maliki, dalam kitabnya Mawāhib Al-Jalīlsebagai berikut :

“Jika seseorang berutang untuk dapat naik haji, dengan harta yang halal yang menjadi tanggungannya, dan dia berkemampuan untuk melunasi utang itu, serta pihak pemberi utang ridho [akan kepergian peminjam untuk naik haji], maka hukumnya tidak mengapa [boleh]. (Al-Ḥaṭāb Al-Ru’aini, Mawāhib Al-Jalīl, Juz III, hlm. 501).


Syarat keempat, pinjaman untuk naik haji atau umroh itu tidak mengandung riba. Jika pinjamannya mengandung riba, misalnya riba yang berbentuk bunga, walaupun bunganya ringan, atau dalam bentuk denda ketika orang yang berutang terlambat membayar angsuran, atau berbentuk biaya administrasi, atau berbentuk tambahan uang yang disepakati pada saat akad pinjaman, dan bentuk-bentuk riba lainnya, maka jelas pinjaman itu haram hukumnya dan orang yang meminjam akan terjatuh ke dalam dosa besar karena riba. Syekh Ibnu ‘Utsaimin menegaskan :

“Jika seseorang berutang dengan pinjaman yang mengandung riba, agar dia dapat naik haji, maka ini adalah salah satu dari dosa yang terbesar [akbar al-kabā`ir].” (Ibnu ‘Utsaimin, Majmū’ Fatāwā Al-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 21/93).


(Diambil dari tanya jawab bersama guru kami KH. Shiddiq Al Jawi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar