banyak memberi banyak menerima

banyak memberi banyak menerima

Senin, 15 Maret 2021

Positif thingking berstandar Syariat

Positif thinking standarnya syariat


Konsep Positif thingking saya dengar pertama kali dari buku-buku pengembangan diri dari penulis Barat.


Memang benar positif thingking sangat dibutuhkan dalam hidup, supaya pola pikir dan pola sikap tidak terbawa kepada hal negatif yang membawa kepada kualitas hidup yang buruk.


Bahkan, riset dari Fakultas Kedokteran Universitas San Fransisco (1986) menyebutkan, 80 persen dari pikiran manusia cenderung menyuruh pada hal-hal yang negatif. Dari pikiran-pikiran negatif ini akan mengarahkan untuk berperilaku buruk dan menyimpang. Jika tidak dikendalikan sejak awal, perilaku negatif ini akan membentuk watak dan karakter buruk seseorang. Ini yang harus kita hindari bersama.


Islam pun jauh sebelumnya, sejak 1300 tahun lalu telah mengajarkan hal ini. Dalam sebuah hadits : "Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya apabila ia memohon kepada- Ku." (HR Muslim). Hadis ini menganjurkan kepada kita semua untuk terus berpikir positif (husnuzan).


Namun pertanyaannya sejauh mana batasan positif dan negatif ? Bagi seorang kriminal yang biasa buat kejahatan tentu standar baik buruknya berbeda dengan seorang terdidik yang banyak belajar.


Untuk itu dibutuhkan sebuah standar yang haq, yaitu standar yang diturunkan dari pencipta manusia. Apalagi kalau bukan standar syariat.


Jadi tidak seperti konsep barat yang semua diambil positifnya saja, sehingga dampaknya harus menerima semua keadaan tak peduli sebuah kemaksiatan atau bukan.


Padahal dalam Islam diperintahkan juga untuk beramar maruf nahi munkar. 


Dari Abu SaŹ»id (diriwayatkan) ia berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” [HR. al-Nasa’i, Muslim, Ibnu Majah, al-Tirmidzi, dan lain-lain].


Juga diperintahkan untuk mengkritisi dan bahkan menegur pemimpin yang zalim.


Dari Abu Sa’id al-Khudri (diriwayatkan) ia berkata, Rasulullah saw bersabda, “jihad yang paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan penguasa atau pemimpin yang zalim” [HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad].


Demikianlah Islam memberikan batasan yang jelas antara yang hitam dan yang putih. Sehingga konsep husnudzon dapat direalisasikan dalam lingkup batasan syariat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar